“IMPIAN
WULAN”
Suasana masih
sangat sepi ketika aku melangkahkan kaki memasuki pekarangan sekolah. Kulirik
jam tangan di pergelangan, ternyata baru menunjukkan pukul 07.00 WIB. Pantes masih
sepi, ucapku dalam hati.
Ketika melewati
taman sekolah, aku berpapasan dengan pak Kardi sang penjaga sekolah. Dia
tersenyum melihatku. Pak Kardi orangnya memang sangat ramah, aku sering
mengobrol dengannya.
“Pagi sekali hari
ini neng,” sapanya. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Kelihatan aneh
ya pak kalau saya datang
sepagi ini?” balasku.
“Ah gak juga,”
sahutnya sambil mengambil bebrapa keranjang sampah yang berada di dekat
kakinya. Laki-laki tua itu lantas berlalu sambil membawa keranjang sampah. Aku
hanya menatapnya sekilas lalu melanjutkan langkahku menuju kelas.
Belum ada satu
orang pun di kelasku. Kelas terlihat sepi dan tiba-tiba aku merinding sendiri.
Ih, kok merinding sih, bathinku. Begini rupanya kalau sendirian di kelas, ada
rasa-rasa aneh begitu.
Tiba-tiba sesosok
bayangan melintas dari pintu kelas. Aku terkejut dan menoleh dengan cepat.
Ternyata Aldi sang ketua kelas.
“Huh, kamu bikin
kaget aku saja Al,” ucapku.
“Lho, kok kaget
sih?” tanyanya bingung.
“Anu,… tadi itu
aku merasa gimana gitu waktu sebelum datang kamu. Aku merinding sepertinya ada
makhluk gaib di sekitar sini,” ujarku menjelaskan.
“Alah, itu hanya
perasaan kamu saja. Kamu belum pernah datang sepagi ini sih, biasanya kamu kan
datangnya selalu telat, makanya belum pernah merasakan suasana sesepi hari
ini,” ucap Aldi sambil memasukkan tasnya ke dalam laci meja.
Dalam hati aku
membenarkan apa yang barusan dikatakan Aldi. Aku memang belum pernah datang
sepagi ini. Kalau bukan karena insiden tadi pagi, mungkin hari ini aku bakalan
telat lagi tiba di sekolah.
“Hei Wulan,
tumben kamu datang cepat. Mimpi apa semalam,” sapa Yanti teman sebangkuku dari
arah pintu kelas. Aku hanya tersenyum menyambut kedatangannya.
“Ah, kamu ini.
Sekalinya aku datang cepat malah diledekin. Besok aku datang terlambat aja ah
seperti biasanya,” sahutku sambil cemberut.
“Wah wah wah,
jangan merajuk dong sahabatku yang cantik. Yuk kita ke kantin aja sarapan,”
ajaknya sambil menarik tanganku.
Aku menuruti
ajakannya. Kebetulan perutku memang belum diisi apa-apa sejak semalam. Sekarang
baru terasa perihnya.
Baru beberapa
orang siswa yang sedang berada di kantin. Rata-rata mereka memilih mie goreng
sebagai menu sarapannya. Aku memilih nasi uduk dan segelas teh hangat. Perutku
tidak sanggup bila diisi mie pagi-pagi, apalagi sejak semalam aku belum makan
apa-apa. Bisa-bisa aku sakit perut nanti.
Selesai sarapan
kami segera kembali ke kelas, menunggu bel masuk berbunyi.
Pelajaran pertama
hari ini matematika. Ini jenis pelajaran yang paling tidak kusukai. Angka-angka
dan rumusnya membuat aku pusing dan mual. Berkali-kali aku berusaha memahaminya
tapi tetap saja sulit. Hmm,..mengapa ya di dunia ini ada pelajaran matematika,
sering aku bertanya dalam hati.
“Keluarkan buku
peer kalian, lalu kumpulkan di meja ibu,” ucap bu Laras mengagetkanku. Reflek
tanganku menyenggol siku Yanti yang duduk di sebelahku.
“Memangnya ada
peer ya Yan?” tanyaku perlahan. “Kok kamu gak bilang-bilang sih?”
“Lho, aku kirain
kamu udah tahu. Lagian kamu gak nanya sih, aku mana ingat. Kalo ga salah bu Laras ngasih peernya Rabu minggu lalu, aku
aja hamper lupa mengerjakannya,” sahut Yanti sambil berbisik.
“Rabu lalu? Aku
kan gak sekolah,” bisikku.
“Nah, ntar kalau
ditanyain bu Laras kamu jawab aja bahwa Rabu lalu kamu gak datang,” ucap Yanti
memberi usul. Aku mengangguk menyetujui usulnya.
“Masih kurang
satu orang lagi nih yang ngumpulin peer nya. Ibu udah hitung, jumlah yang hadir
hari ini 29 orang, tapi buku yang terkumpul baru 28 buah. Siapa yang tidak
mengumpulkan, coba tunjuk tangan!” ujar bu Laras membuat jantungku berdegup
kencang.
Perlahan aku
mengacungkan jari telunjuk ke atas. Aku pasrah bakalan mendapt hukuman dari bu
Laras.
“Hmm,…kamu
rupanya Wulan. Kenapa tidak buat peer?” tanya bu Laras.
“Ngg,…anu bu,
saya tidak hadir Rabu lalu,” jawabku cepat.
“Lho, kalau tidak
hadir Rabu lalu, bukankah kamu masih punya hari lain untuk bertanya pada
temanmu apakah ada peer atau tidak ketika kamu tidak masuk? Toh hari ini hari
Senin, sudah berjarak empat hari dari hari Rabu yang lalu. Ibu tidak bisa
menerima alasan kamu. Kamu memang selalu tidak mengerjakan peer yang ibu
berikan,” bu Laras berkata panjang lebar membuat telingaku panas dan
berdenging.
“Sekarang kamu
keluar menjumpai bu Nining di ruang BK. Berikan kertas ini sama beliau,” ucap
bu Laras lagi sambil memberikan secarik kertas kepadaku.
Dengan langkah
gontai aku meninggalkan kelas. Sialan, rutukku. Pagi-pagi sudah harus ke rungan
BK. Kenapa sih bu Laras tidak bisa menerima alasanku. Aku kan bukan sengaja
tidak membuat peer, tapi memang aku tidak tahu kalau diberikan peer matematika
pada hari Rabu lalu. Ketika aku ke sekolah pada hari Kamis, aku sama sekali
tidak ingat untuk menanyakan peer pada teman-temanku dan mereka pun tidak ada
yang memberitahukanku. Lalu salahku dimana, coba.
Ketika langkahku
sudah hampir tiba di depan ruang BK, tiba-tiba aku mendengar seserang memanggil
namaku.
“Wulaan,…mau
kemana?” teriak seseorang.
Aku segera
memalingkan muka ke arah sumber suara. Ternyata Tari sedang berlari kecil ke
arahku sambil membawa beberapa buah buku paket.
“Ngg,… aku mau ke
kantor dewan guru,” jawabku. Aku terpaksa berbohong, malu kalau sampai ketahuan
aku harus berurusan dengan guru BK.
“Kamu sendiri mau
kemana?” aku balik bertanya.
“Aku mau ke
perpustakaan disuruh bu Lela mengembalikan buku-buku ini,” sahutnya sambil
menunjukkan buku Seni Budaya yang berada di tangannya.
Tiba- tiba sebuah
ide melintas di kepalaku.
“Yuk aku temani
ke perpustakaan, setelah dari sana baru aku ke ruang dewan guru,” ajakku.
“Kebetulan kalau
begitu, kamu bisa bantu aku mengangkat sebagian buku-buku ini,” sahut Tari
sambil memberikan beberapa buah buku kepadaku.
Sesampainya di
perpustakaan kami segera menemui pegawai perpustakaan dan mengembalikan buku-buku
tersebut.
“Yuk Lan, kita
kembali ke kelas,” ucap Tari sambil menarik lenganku.
“Ah males ah, aku
mau baca-baca dulu di perpustakaan,” sahutku seraya melepaskan tangannya.
“Lho, bukannya
sekarang kita masih ada jam belajar di kelas? Kamu sekarang dengan bu Laras
kan?” tanya Tari bercampur heran.
“Iya, kalau kamu
mau kembali ke kelas, kamu pergi aja duluan, ntar kamu dimarahi lho sama bu
Lela,” sahutku lagi sambil mengambil sebuah buku untuk dibaca.
“Nah, lantas kamu
sendiri gimana?” tanyanya lagi.
“Oh, kalau aku
sih istimewa, aku sudah mendapat ijin dari bu Laras,” sahutku asal jawab.
Tari menatapku
keheranan, seolah tak mempercayai ucapanku barusan.
“Hmm,… aku gak
percaya kamu dibolehkan ke perpustakaan sedangkan bu Laras sedang mengajar
matematika di kelas kamu,” ucap Tari sambil mengernyitkan dahinya.
“Pasti ada yang
tidak beres nih,” ujarnya lagi sambil menatap mataku. Aku tidak
memperdulikannya, segera kuambil satu buku lantas duduk lesehan di lantai
perpustakaan yang beralaskan karpet warna merah.
“Wulan,”
panggilnya perlahan.
“Kamu sedang
mendapat hukuman dari bu Laras kan?” tanyanya sambil menutup buku yang sedang
kubaca.
“Aah,… kamu reseh
amat sih,” sahutku sambil menepis tangannya dari buku yang sedang kubaca.
“Lagi ada masalah
di rumah?” tanyanya lagi.
“Hmm,… kasih tau
gak yaa,” jawabku menggodanya. Tari mulai terlihat kesal.
“Ntar aku kasih
tau om Kasman loh kalau kamu hari ini dapat hukuman dari bu Laras,” ancamnya.
Spontan aku berteriak kaget.
“Jangaaann!”
teriakku tak sadar namun langsung menutup mulut dengan telapak tangan manakala
kulihat penjaga pustaka melotot ke arah kami. Tari tersenyum penuh kemenangan.
Tak tik nya berhasil.
“Aku mohon Tari,
jangan kamu kasih tahu ayahku kalau aku hari ini tidak masuk pelajaran
matematika,” ucapku memohon.
“Baiklah, tapi
kamu harus ceritakan dulu padaku apa penyebabnya,” sahut Tari sambil menatap
mataku lekat-lekat.
Anak ini memang
keras kepala, tapi aku sayang banget sama dia. Dia salah seorang sahabatku yang
sangat kupercaya. Selain kami bertetangga, Tari juga adalah saudara sepupuku.
Ayahku dan ibunya kakak beradik, maka tak heran kalau kami terlihat akrab
karena selain bersahabat kami juga masih bersaudara.
“Aku tidak buat
peer matematika, dan ini kali ketiga aku tidak buat peer,” akhirnya aku
mengakui juga penyebab aku tidak mengikuti pelajaran matematika hari ini.
“Tapi aku bukan
dikeluarkan dari kelas, aku diperintahkan bu Laran menjumpai guru BK di
ruangannya. Tapi aku malas, paling juga nasehatnya itu itu saja. Bosan ah,”
jelasku.
“Kenapa kamu gak
buat peer?” tanyanya lagi.
“Aku gak sekolah
Rabu lalu, jadi kan aku gak tau kalau bu Laras ada ngasi peer ke anak-anak,”
jawabku memebela diri.
“Memangnya kenapa
kamu gak sekolah Rabu yang lalu?” Tari bertanya seperti detektif.
“Ihh,… kamu nanya
melulu sih, bawel,” sungutku.
“Aku terlambat
bangun, tidak ada orang di rumah yang membangunkanku. Ayah udah pergi kerja dan
ibuku gak tau dimana,” jelasku.
“Puas? Ada
pertanyaan lagi?” tanyaku.
“Hmm,… ayah dan
ibumu masih sering bertengkar Lan?” tanyanya.
Aku tersentak
mendengar pertanyaannya. Memang bukan rahasia lagi kalau ayah dan ibuku sering
bertengkar. Aku dan keluargaku memang tinggal saling berdekatan dengan para
family. Bisa dikatakan tetangga kami adalah saudara ayah dan ibu semua. Ayah
dan ibuku masih tergolong saudara, meskipun saudara jauh. Dari cerita yang
kudengar, mereka dijodohkan dari kecil.
Aku menghela
nafas panjang lantas mengangguk.
“Aku bosan
tinggal di rumah Tar. Aku rasanya pengen pergi jauh saja. Ayah dan ibu selalu
bertengkar dan aku tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Semalam ayah
membanting piring bekas makannya, karena ibu membantah perkataan ayah. Tadi
subuh aku terbangun karena tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut lagi. Mereka
bertengkar lagi. Aku lantas buru-buru mandi dan berangkat sekolah, malas ada di
rumah itu. Rumah seperti neraka saja,” jelasku sambil terisak.
Tari mengelus
kepalaku dengan sayang.
“Kamu yang sabar
ya Wulan. Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Kamu tetap harus ada di sisi
orang tuamu untuk menjadi penyemangat bagi mereka,” Tari menasehatiku dengan
bijak.
“Apa?
Penyemangat? Penyemangat untuk bertengkar? Apa mereka peduli dengan aku? Apa
mereka tahu bagaimana perasaanku melihat mereka setiap hari bertengkar? Apa
mereka pernah bertanya tentang sekolahku? Tidak Tar. Mereka sama sekali tidak
menganggapku ada. Mereka hanya sibuk mengurus diri mereka sendiri,” isakku
lagi. Unek-unek yang selama ini kupendam akhirnya kutumpahkan semua.
Tari terdiam
mendengar keluh kesahku. Dia hanya bisa menatapku dengan pandangan iba.
Dibelai-belainya pundakku seakan memberikan aku kekuatan.
“Sabar ya Wulan.
Aku mengerti perasaanmu. Semua ini merupakan cobaan yang harus kamu hadapi.
Tetaplah berdoa kepada Allah semoga ayah dan ibumu segera berdamai dan hidup
rukun kembali,” ucap Tari sambil menghapus air mataku dengan ujung jarinya.
“Kamu tau gak
Tari, aku cemburu melihat kehidupan keluargamu yang tentram dan damai. Aku
tidak pernah melihat atau mendengar kedua orang tuamu bertengkar,” ucapku
lirih.
‘Ya, Lan.
Kehidupan manusia berbeda-beda jalannya. Ada yang mulus dan ada yang penuh
kerikil tajam,” jawab Tari berfilosofi membuat aku agak sedikit tersenyum
mendengarnya.
“Kenapa? Kok
malah tersenyum. Lucu ya kata-kataku. Itu aku kutip dari sebuah buku yang
pernah aku baca,” ujarnya.
“Nah, kalau kamu
sudah bisa tersenyum, yuk kita kembali ke kelas sekarang. Kita sudah melewatkan
hamper dua jam pelajaran. Aku mau menjumpai bu Lela mau minta maaf karena sudah
meninggalkan kelas terlalu lama,” lanjutnya.
“Kamu masuk aja
duluan, sebentar lagi aku menyusul,” kataku.
“Janji ya, kamu
segera masuk kelas setelah ini?” tanyanya ragu.
“Iya, aku mau
masuk kelas sebentar lagi. Gak mungkin aku masuk kelas dengan mata sembab
seperti ini,” kataku memberi alasan.
“Okelah kalau
begitu, aku masuk duluan ya. Ingat pesanku ya Lan, kamu harus kuat menghadapi
ini semua,” ucap Tari.
Aku hanya
menganggukkan kepala meng iyakan ucapannya. Tari tersenyum lantas segera
meninggalkanku sambil tak lupa berpamitan dengan penjaga perpustakaan.
**********
Ketika aku tiba
di sekolah pagi ini, suasana terlihat sudah sepi. Pasti bel masuk sudah
berbunyi dari tadi, bathinku. Hanya terlihat beberapa orang siswa sedang
mengutip sampah, bisa dipastikan mereka dihukum karena terlambat.
Kulangkahkan kaki
menuju meja piket, melapor datang terlambat. Seperti biasa, guru piket
menanyakan alasan keterlambatanku, memberi nasehat lalu memberikan hukuman
mengutip sampah yang berserakan di samping kantor kepala sekolah. Setelah
semuanya beres, aku menerima selembar kertas ijin masuk lantas bergegas masuk
ke kelas.
Di pintu kelas
aku berhenti sebentar, menarik nafas panjang lantas mengetuk pintu. Aku berdoa
dalam hati semoga tidak dimarahi oleh guru yang sedang mengajar di dalam. Aku
tidak tahu siapa guru yang sedang berada di kelasku karena tadi pagi ketika
berangkat ke sekolah aku sama sekali tidak melihat roster pelajaran.
“Masuk,”
terdengar jawaban dari dalam. Deg,… jantungku berdetak kencang. Itu sepertinya
suara guru PPKn. Waduh, habislah aku hari ini, bathinku.
Perlahan aku
masuk ke kelas lalu menyerahkan kertas ijin masuk dari piket kepada bu
Maisarah. Beliau melirik sebentar ke arah kertas yang kuserahkan lalu
menyuruhku segera duduk.
“Kenapa kamu
sering sekali terlambat masuk sekolah, Wulan?” tanya bu Maisarah. Tuh kan mulai
deh, rutukku dalam hati. Bu Mai pasti akan menceramahiku habis-habisan seperti
biasanya.
“Kamu kan tahu
peraturan di sekolah ini masuk pukul 07.30 WIB, dan seharusnya sesuai dengan
janji siswa yang dibacakan setiap hari Senin saat upacara bendera kalian harus
tiba 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tapi kenyataannya kamu tiba di sekolah
justru setelah pelajaran dimulai 15 menit yang lalu,” cecarnya lagi.
Aku hanya bisa
terdiam sambil menundukkan wajah. Aku tak ingin menjawab apapun. Kalau menjawab
bisa-bisa beliau akan bertambah marah.
“Terus kalau ibu
perhatikan absen kelas ini, kamu terakhir sekolah hari Senin yang lalu,
sedangkan hari ini adalah hari Kamis. Apakah kamu punya ritual khusus untuk ke
sekolah hanya hari Senin dan Kamis seperti orang puasa Senin Kamis?” lanjut bu
Mai lagi. Beberapa orang temanku tertawa mendengar ucapan bu Mai. Telingaku
mulai terasa panas dan berdenging mendengar omelan bu Mai.
“Kamu belum
menjawab pertanyaan ibu. Mengapa kamu sering sekali terlambat tiba di sekolah?
Apakah ibumu tidak membangunkan kamu lebih awal di pagi hari? Atau
jangan-jangan memang ibu kamu tidak perduli apakah kamu pergi sekolah atau
tidak, begitu?” cecarnya lagi.
Aku tidak tahan
lagi, dengan kesal aku bangkit berdiri hingga kursi yang kududuki terpental dan
terguling ke belakang. Aku menghambur keluar dari kelas dengan air mata
bercucuran di pipi.
“Wulan!” teriak
bu Maisarah.
“Wulan, tunggu,
ibu belum selesai bicara!”
Aku tidak
memperdulikan panggilannya. Aku terus berjalan meninggalkan kelas. Aku tidak
punya mood lagi untuk belajar.
Padahal ketika berangkat ke sekolah tadi pagi aku sudah berjanji dalam hati
untuk tidak membuat masalah lagi di sekolah. Tapi sekarang aku tidak perduli
lagi. Terserah bu Mai mau melaporkanku ke wali kelas atau membuat cabut di
absen.
Sambil menghapus
air mata aku melangkah menuju perpustakaan. Untungnya perpustakaan masih sepi
sehingga tidak ada yang memperhatikanku.
Di perpustakaan
hanya ada bu Rahmi dan seorang pegawai perpustakaan. Dengan langkah gontai aku
menuju ruang baca dan duduk di salah satu bangku. Aku ingin menenangkan fikiran
sebentar.
Tiba-tiba ada
yang menyentuh bahuku dari belakang. Reflek aku segera berbalik melihat siapa
yang datang. Bu Rahmi guru IPS yang merangkap sebagai kepala perpustakaan
sedang tersenyum manis di hadapanku.
“Sedang apa kamu
disini Wulan?” tanyanya.
“Bukankah
seharusnya kamu sedang belajar PPKn di kelas?” tanya beliau lagi.
“Ngg,… anu bu.
Saya ada masalah dengan bu Maisarah. Saya kesini sebentar mau baca-baca buku,”
jawabku setengah berbisik.
“Oh, begitu.
Baiklah, silakan kamu pilih buku apa yang ingin kamu baca. Di lemari sebelah
sudut itu banyak tersedia buku-buku bacaan yang menarik. Kamu pasti suka,” ujar
bu Rahmi masih diiringi senyum manisnya. aku hanya menganggukkan kepala. Segera
kuturuti anjurannya, memilih satu buah buku lalu kembali ke bangkuku untuk
mulai membaca.
Setelah sekitar
lima belas menit berlalu kulihat bu Rahmi menghampiri tempat dudukku. Beliau
lantas menarik sebuag kursi dan duduk di hadapanku.
“Ibu perhatikan
dari tadi kamu sepertinya tidak sedang membaca, Wulan. Kamu terlihat hanya
membolak-balik kertas buku saja. Boleh ibu tahu kamu sedang punya masalah apa?
Mungkin ibu bisa membantu,” ucap bu Rahmi sambil menyentuh tanganku.
Mendengar ucapan
bu Rahmi yang lembut hatiku yang panas rasanya seperti diguyur air es. Memang
guruku yang satu ini selalu terlihat ramah kepada semua murid-muridnya. Beliau
suka mengajak muridnya mengobrol entah itu membahas sebuah buku terbaru atau
sekedar mendengarkan curhatan muridnya.
“Kamu barusan
dimarahi sama bu Maisarah ya?” selidik bu Rahmi. Aku menganggukkan kepala.
“Kenapa?”
tanyanya lagi.
Aku menghela
nafas panjang lalu menatap keluar melalui jendela.
“Seperti biasa
bu. Bu Maisarah menegur kenapa saya datang terlambat lalu mengomel panjang lebar
karena saya sering tidak hadir ke sekolah,” akhirnya kukeluarkan juga uneg-uneg
yang sedari tadi kutahan.
“Oh, begitu.
Bukankah itu tandanya beliau perhatian terhadap kamu? Beliau tidak ingin
siswanya ketinggalan pelajaran karena terlalu lama membolos sekolah. Kalau
seorang guru masih suka mengomel dan memberikan nasehat, itu tandanya guru
tersebut masih sayang
kepada muridnya. Kalau sudah tidak sayang lagi, guru tentu tidak perduli lagi
kepada muridnya apakah sang murid mau masuk atau tidak, mau bisa atau tidak dan
sebagainya,” ujar bu Rahmi.
“Iya sih bu. Tapi
saya kan malu diomeli seperti itu di hadapan teman-teman saya. Kalau memang
beliau mau menasehati saya kan bisa berdua saja, jangan di depan semua kawan
sekelas saya,” jawabku tak mau kalah.
Bu Rahmi
tersenyum mendengar ucapanku.
“Wulan, setiap
guru itu mempunyai ciri khas, gaya mengajar dan kebiasaan masing-masing.
Mungkin kebiasaan bu Maisarah memang seperti itu, beliau spontan menegur siswa
yang melanggar peraturan dengan maksud supaya si siswa segera sadar dan tidak
mengulangi lagi kesalahannya. Mungkin kalau menunggu sampai beberapa saat,
takutnya dia lupa karena kesibukan guru yang tidak sedikit. Siswa yang dihadapi
juga bukan satu orang. Dalam satu kelas ada sekitar 30 atau 35 orang siswa, bisa
kamu bayangkan kan berapa orang siswa dalam 8 kelas?” lanjut bu Rahmi.
Aku hanya
menganggukkan kepala.
“Kamu juga tidak
boleh bersikap seperti tadi, Wulan. Kamu tidak boleh meninggalkan kelas tanpa
ijin dari guru yang bersangkutan. Itu namanya tidak sopan,” sesal bu Rahmi.
“Iya, bu.
Habisnya tadi saya kesal dan tidak sanggup lagi mendengar kata-kata beliau.
Lagian saya di rumah habis mendengar pertengkaran ayah dan ibu saya, jadinya
saya sumpek dan pusing, bu,” ujarku membela diri.
Bu Rahmi tercenung mendengar
kata-kataku.
“Apakah orang tuamu sering
bertengkar Wulan?” tanya bu Rahmi lagi.
Aku hanya menganggukkan
kepala. Hatiku kembali sedih bila ingat kondisi keluargaku. Mengapa keluargaku
tidak sama dengan keluarga orang lain. Rasanya tiada hari tanpa pertengkaran.
“Wulan, kalau kamu mau
bercerita, ibu siap mendengarkan,” ucap bu Rahmi sambil menyentuh tanganku.
Aku menarik nafas panjang,
berusaha mengumpulkan keberanian untuk menceritakan semuanya pada bu Rahmi.
“Tapi ibu janji ya tidak akan
menceritakannya pada siapapun?” kataku sejurus kemudian.
Bu Rahmi menganggukkan
kepalanya dengan cepat.
“Ibu janji tidak akan
menceritakannya pada siapapun. Sekarang, ceritalah supaya hati kamu lega,
setidaknya berkurang sedikit beban yang ada di pundak kamu,” ucap bu Rahmi
memberikan semangat.
Aku mengangguk sambil
membetulkan posisi duduk. Sesaat aku melempar pandangan ke arah jendela.
Terlihat beberapa siswa sedang bermain bola voli di lapangan. Setelah menarik
nafas panjang sekali lagi, akupun mulai bercerita.
“Seingat saya bu, sedari
kecil saya sudah sering mendengar dan menyaksikan sendiri orang tua saya
bertengkar. Saya tidak mengerti apa yang menjadi penyebab pertengkaran mereka.
Terkadang mereka bertengkar di pagi hari, kadang siang dan terkadang pula di
tengah malam,” ucapku perlahan.
“Bila sudah bertengkar,
mereka tidak perduli apakah tetangga mendengar atau tidak. Hal ini sering
membuat saya malu. Sehingga saya sering bertanya-tanya sendiri, mengapa orang
tua saya tidak memiliki rasa malu padahal mereka sudah dewasa,” lanjutku. Bu
Rahmi hanya tercenung mendengar kata-kataku. Beliau sama sekali tidak ingin
memotong atau menyela. Beliau benar-benar seorang pendengar yang baik.
“Saya kasihan melihat ibu
saya, bu. Setiap selesai bertengkar pasti ibu menangis lalu mengunci diri di
kamarnya,” ucapku tersendat. Lalu tanpa bisa kucegah air mata mengalir dengan
derasnya di pipiku. Terbayang kondisi ibu yang menyedihkan setiap selesai
bertengkar dengan ayah.
“Pernah pada suatu pagi
setelah malamnya bertengkar dengan ayah, saya memergoki ibu sedang memoleskan
salep di dekat matanya yang membiru. Ketika saya tanyakan mengapa, ibu menolak
bercerita. Beliau mengatakan tidak apa-apa hanya terbentur pintu kamar mandi.
Tapi saya tahu bu, saya tahu kalau beliau habis dipukuli ayah,” tangisku tak
dapat kubendung lagi. Aku menangis terisak-isak. Bu Rahmi meraihku kedalam
pelukannya. Dipeluknya aku dengan erat sambil membelai-belai kepalaku.
“Sabar ya sayang,... sabar.
Semua ini merupakan cobaan dari Allah. Yakinlah semua akan ada jalan
keluarnya,” bisik bu Rahmi di telingaku.
“Bukan sekali dua kali saya
memergoki wajah ibu luka karena dipukul oleh ayah. Tapi ibu selalu saja
berbohong dan mengatakan tidak ada apa-apa. Saya bukan anak kecil lagi, bu.
Saya tahu kalau ibu dipukul ayah. Saya benci ayah saya bu, saya benci dia,”
ucapku hampir berteriak.
“Tenang sayang, tenanglah.
Semua akan baik-baik saja, oke?” ucap bu Rahmi berusaha menenangkanku yang
terlihat hampir histeris.
“Saya berdoa setiap hari
supaya mereka berpisah saja. Saya tidak tahan melihat perlakuan ayah sama ibu,”
lanjutku.
“Makanya saya sering tidak
masuk sekolah bu. Saya melakukan semua pekerjaan rumah tangga kalau ibu sakit
karena dipukul ayah. Saya bukan malas ke sekolah bu, tapi keadaanlah yang
memaksa saya,” isakku lagi.
Bu Rahmi terlihat sangat
sedih mendengar ceritaku. Beliau turut menangis.
“Ibu minta maaf kalau selama
ini sering memarahi kamu karena tidak masuk sekolah. Ibu tidak tahu kalau
alasan dibalik ketidakhadiran kamu ke sekolah adalah karena masalah ini,” ucap
bu Rahmi sambil menyeka air matanya.
“Tidak apa-apa bu, saya
maklum,” jawabku.
Lama kami terdiam dan larut
dengan perasaan masing-masing. Tak lama kemudian bel istirahat berbunyi.
“Wulan, kamu sudah tenang
sekarang?” tanya bu Rahmi sejurus kemudian.
Aku hanya menganggukkan
kepala. Memang setelah bercerita barusan, perasaanku terasa ringan, setidaknya
aku sudah mengeluarkan sedikit duka yang selama ini tersimpan. Ternyata benar
kata orang, bila masalah disimpan sendiri akan menjadi beban. Tapi bila berbagi
cerita dengan orang lain, maka beban itu akan terasa berkurang. Tentu saja kita
harus berbagi cerita dengan orang yang tepat.
“Sekarang kamu jumpai bu
Maisarah di kantor dewan guru ya? Minta maaf sama beliau atas perlakuan kamu
tadi, lalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi, oke?” ujar bu Rahmi.
Aku hanya menganggukkan
kepala mendengar saran bu Rahmi.
“Ibu selalu ada bila kamu
ingin berbagi cerita lagi. Pesan ibu kamu harus sabar dan harus selalu ada
disisi ibumu. Beri dia semangat dan kekuatan untuk menjalani hidup. Kamu juga
harus tetap hormat kepada ayahmu. Walau bagaimanapun perlakuannya terhadap
ibumu, dia tetaplah ayahmu,” ucap bu Rahmi lagi.
Aku menghela nafas panjang
mendengar ucapan beliau yang terakhir. Mampukah aku menghargainya? Entahlah...
*************
Seminggu berlalu tanpa ada
keributan di rumah. Hatiku merasa lega karena belum pernah aku merasakan rumah
sedamai sekarang. Biasanya tiada hari berlalu tanpa hardikan, bentakan, caci
maki dan sumpah serapah.
Namun ketenangan dan
kedamaian itu tidak berlangsung lama. Malam ini aku melihat ibu sedang sibuk
memasukkan pakaian kedalam tas koper. Apakah ibu hendak pergi meninggalkan
rumah? Perlahan kudekati ibu yang sedang memegang sesuatu seperti sebuah buku
notes kecil.
“Ibu,... ibu mau pergi
kemana?” tanyaku sambil menatapnya dengan perasaan sedih. Tatapanku beralih ke
tas koper besar yang berada di lantai.
Ibu terlihat kaget melihat
kehadiranku di kamar. Dihentikannya pekerjaanmya lalu duduk diatas ranjang
sambil memberi isyarat kepadaku agar duduk di sebelahnya.
“Ibu mau pergi sebentar,
Wulan,” sahutnya pelan. Dari nada suara ibu aku tahu bahwa ibu sedang memendam
kesedihan yang sangat dalam. Lalu tiba-tiba saja dua butir air mata jatuh di
pipinya yang cekung.
“Ibu mau pergi kemana? Lantas
kalau ibu pergi, aku bagaimana bu?” ucapku menahan tangis yang hampir pecah.
Perlahan ibu mendekatiku,
menatapku lekat lalu meraihku dalam pelukannya. Tangis ibu pecah, akupun tak
dapat menahan haru, turut menagis bersamanya. Kami larut dalam kesedihan. Belum
pernah aku melihat ibu serapuh ini. Biasanya ibu selalu tegar menghadapi
berbagai persoalan yang menghampirinya.
Setelah beberapa saat saling
berpelukan dalam tangis, perlahan ibu melepaskan pelukannya. Diraihnya
tanganku,digenggamnya erat. Jemari ibu terasa dingin dan agak gemetar. Sakitkah
ibu?
“Wulan, ada sesuatu yang
ingin ibu sampaikan padamu. Ibu rasa sudah tiba waktunya kamu tahu apa yang
sedang terjadi dalam keluarga kita,” ucap ibu lirih.
Ibu melepaskan genggaman tangannya
lalu berjalan ke arah jendela kamar. Pandangannya kosong menatap keluar.
“Ibu harap apa yang akan ibu
ceritakan ini bisa kamu ambil hikmahnya dan jadikan pelajaran dalam hidupmu
kelak kemudian hari,” lanjut ibu.
Hatiku berdebar menanti apa
yang akan ibu ceritakan padaku. Kulihat ibu menarik nafas panjang sebelum
kembali berbicara.
“Wulan, ibu dan ayahmu
menikah dalam usia yang masih sangat muda. Waktu itu ibu baru berumur 16 tahun,
baru duduk di kelas satu SMA, sedangkan ayahmu kelas dua SMA. Cinta yang
menggebu membuat kami nekad menikah di usia yang masih sangat belia. Meski
orang tua melarang namun kami nekad kawin lari dan akhirnya mereka terpaksa
menyetujuinya,” ujar ibu lirih.
“Waktu itu kami sama sekali
tak membayangkan kehidupan bagaimana kelak yang akan kami jalani setelah
menikah. Dalam anggapan kami kala itu, menikah adalah jalan terbaik agar bisa
terus bersama-sama. Nasehat dari guru dan orang-orang terdekat kami abaikan,
kami anggap mereka ingin menghalangi cinta kami. Kami nekad menikah dengan
hanya bermodalkan cinta.”
Ibu menarik nafas panjang
lagi, menghentikan ceritanya. Matanya menatap kosong ke depan.
“Di awal-awal pernikahan
memang semua tampak demikian manis. Apalagi tak lama kemudian kamu lahir dan
menambah kebahagiaan kami. Namun memasuki tahun kedua, semua mulai berubah
sedikit demi sedikit. Saat itu kami menumpang di rumah kakek dan nenek dari
pihak ayahmu. Merekalah yang membiayai kehidupan kami,” lanjut ibu.
“Ayahmu yang belum memiliki
pekerjaan tetap mulai sering marah-marah. Beliau mulai sering pulang malam.
Bila ibu tanya dari mana, ayahmu memberi alasan macam-macam. Namun belakangan
ibu dapat informasi kalau ayahmu sering kumpul-kumpul dengan teman-temannya dan
menggunakan obat terlarang. Kalau ibu bertanya apakah benar dia menggunakan
obat terlarang maka beliau akan marah dan ujung-ujungnya ibu ditampar,” ucap
ibu sambil tersenyum getir.
“Ibu tidak mengerti mengapa
ayahmu menjadi temperamental seperti
itu, hal yang tak pernah ditunjukkannya sewaktu kami masih pacaran. Mungkin
karena ayahmu belum memiliki pekerjaan dan belum bisa menafkahi ibu, sehingga
beliau menjadi sering marah-marah untuk menutupi harga dirinya karena terus menerus
dibiayai oleh orang tuanya,” lanjut ibu lagi.
“Ketika usia pernikahan kami
memasuki tahun ke lima ibu baru merasa menyesal mengapa dulu buru-buru menikah
dan tidak melanjutkan sekolah. Ketika ibu melihat teman-teman sebaya ibu mulai
kuliah, ada perasaan cemburu di hati ibu. Hari-hari yang mereka lalui rasanya
terlihat seperti tak ada beban. Sedangkan ibu setiap hari harus berkutat dengan
pekerjaan rumah tangga ditambah lagi merawat anak yang masih balita. Namun apa
hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur.”
Perlahan ibu meraih kepalaku
lalu diusapnya rambutku dengan lembut.
“Ibu harap kisah hidup ibu
ini bisa menjadi pelajaran bagi kamu. Ibu tidak ingin kamu bernasib sama
seperti ibu. Cukup ibu yang merasakannya,” ujar ibu sambil menatap mataku.
“Wulan, ibu akan berangkat
menjadi TKW ke Malaysia,” ucap ibu membuatku tersentak kaget.
“Apa bu? Ibu mau berangkat ke
Malaysia?” tanyaku tak percaya.
“Iya sayang, ibu ingin
bekerja disana. Tak ada yang bisa ibu lakukan disini. Ibu tidak punya keahlian
apapun, ibu juga tidak punya ijazah yang memadai untuk melamar kerja, ibu hanya punya ijazah SMP. Di Malaysia
peluang kerja banyak, banyak teman ibu yang sudah bekerja disana dan
penghasilannya lumayan. Nanti ibu bisa mengirim uang dari sana untuk biaya
sekolah kamu,” ucap ibu meyakinkanku.
“Tapi bu, apakah ayah
mengizinkan ibu berangkat ke sana?” tanyaku.
“Ayahmu tidak peduli Wulan,
apakah ibu ada disini atau tidak. Masih ingatkah kamu ketika kami bertengkar
seminggu yang lalu? Itulah puncak kesabaran ibu Wulan, ibu akan segera bercerai
dengan ayahmu. Kami sudah tidak bisa lagi mempertahankan keutuhan keluarga
kita. Maafkan ibu dan ayahmu, Wulan. Kamu lah yang menjadi korban dari semua
ini, sekali lagi ibu minta maaf,” tangis ibu kembali pecah. Beliau meraihku
kedalam pelukannya.
Kami kembali larut dalam
tangis. Aku memeluk ibu erat seakan tak ingin berpisah.
“Kalau ibu berangkat ke
Malaysia, bagaimana dengan aku, bu?” tanyaku setelah sekian lama kami terdiam.
“Nanti tante Mur akan tinggal
disini menemani kamu. Lagian semua keluarga kita tinggalnya kan berdekatan
dengan kita, jadi kamu tidak perlu khawatir ya. Mereka semua sudah tahu rencana
ibu dan mereka mendukung sepenuhnya. Meskipun mereka semuanya saudara ayahmu
tapi mereka sangat sayang pada ibu,” ujar ibu berusaha menenangkanku.
Aku hanya bisa terdiam
mendengar ucapan ibu. Tante Mur adalah adik bungsu ayah yang rumahnya hanya
berjarak sekitar sepuluh meter dari rumahku. Aku sering menginap di rumahnya,
terutama jika ibu dan ayah sedang bertengkar.
“Wulan, pesan ibu kamu harus
belajar yang rajin, ya? Kamu harus sekolah yang tinggi, jangan seperti ibu yang
keburu menikah dan tidak sempat menamatkan SMA. Ibu ingin kamu jadi sarjana dan
kelak bisa menjadi wanita mandiri yang tidak hanya menggantungkan hidupnya dari
pemberian suami. Kamu mengerti maksud ibu?” tanya ibu sambil membelai rambutku.
Aku hanya menganggukkan
kepala meskipun aku belum mengerti sepenuhnya.
“Dan satu lagi pesan ibu yang
harus kamu dengar baik-baik. Kamu jangan mau terbuai bujuk rayu laki-laki,
dengan kata lain kamu jangan pacaran selagi masih sekolah. Nanti jodoh akan
datang sendiri. Fokuslah hanya pada pendidikanmu. Insyaallah kamu akan
berhasil. Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu,” ucap ibu lagi sambil
mencium dahiku.
Aku menganggukkan kepala
mendengar nasehat ibu.
“Tidak lama lagi kamu akan
mengikuti ujian nasional. Ibu sebenarnya ingin berada disini mendampingi kamu
selama kamu ujian, tapi apa boleh buat ibu harus segera berangkat. Rencana ini
sudah lama ibu susun, tapi sengaja tidak ibu beritahukan dulu sama kamu, ibu
khawatir hal ini akan mengganggu konsentrasibelajarmu. Walau selama ini
sebenarnya kami sebagai orangtuamu sudah terlalu banyak membuat kamu sedih dan
terluka. Ibu minta maaf Wulan,” ucap ibu sedih sambil kembali menitikkan air
mata.
“Sudahlah bu, tidak usah
disesali lagi apa yang sudah terjadi,” ujarku berusaha menghibur hati ibu.
“Sekarang ibu fokus saja sama
keberangkatan ibu, jangan sampai ada yang terlupakan untuk dibawa,” ucapku lagi
sambil memandangi barang-barang bawaan ibu.
“Semuanya sudah beres
termasuk surat-surat penting. Ibu rasa tidak ada lagi yang terlupakan,” sahut
ibu.
“Sekarang kita tidur dulu ya,
sudah pukul sebelas malam. Besok kamu harus ke sekolah dan ibu pagi-pagi sekali
sudah harus ke terminal,” ucap ibu lagi.
“Malam ini kamu tidur di
kamar ibu ya Wulan. Ibu pengen ditemani kamu malam ini,” kata ibu sambil
menatap mataku.
Aku hanya mengangguk tak
kuasa menolak permintaan ibu. Aku takut menyesal bila terjadi apa-apa aku tak
sempat mengabulkan permintaannya. Ah, aku menepiskan perasaan tak enak yang
tiba-tiba menghampiri.
“Tidurlah Wulan, ibu tak
ingin kamu terlambat ke sekolah besok,” ucap ibu sambil memeluk tubuhku.
Kupeluk tubuh ibu erat seakan
tak ingin berpisah. Aku ingin tertidur lelap malam ini di pelukan ibu. Aku
berharap ini hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang terjadi sebelum aku tertidur,
karena sebenarnya jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin
ditinggalkan ibu.
Aku menarik nafas panjang
berusaha berdamai dengan hati. Kupejamkan mata berharap segera terlelap dan
terbuai mimpi indah. Mimpi memiliki keluarga yang utuh yang tidak tercerai
berai. Saling mengasihi satu sama lain. Ah, biarlah semua terjadi dalam mimpi,
semoga mimpi memiliki keluarga yang bahagia kelak akan menjadi kenyataan.
Semoga....
Selesai
No comments:
Post a Comment