Lonceng masuk
baru saja berbunyi. Bergegas bu Kartika memasuki pekarangan sekolah. Dia agak
sedikit terlambat hari ini. Biasanya dia tiba di sekolah lima belas menit sebelum
lonceng masuk berbunyi. Semalam anaknya sakit demam dan batuk pilek sehingga
rewel dan tidak mau tidur. Menjelang subuh baru dia bisa merebahkan diri
sehingga mengakibatkan dia bangun agak kesiangan dari hari biasanya.
Meskipun berat rasanya meninggalkan anaknya
yang masih sakit di rumah, tapi karena rasa tanggung jawab yang tinggi untuk
mendidik generasi penerus bangsa, maka dengan berat hati terpaksa dia berangkat
juga.
Di lorong menuju
kantor dewan guru bu Kartika berpapasan dengan beberapa siswa dan beberapa
orang guru yang sedang bersiap-siap melangkah menuju kelas tempat mengajar
masing-masing. Bu Kartika bergegas menuju mejanya, mengambil buku-buku dan alat
tulis serta absensi siswa lalu berjalan terburu-buru ke arah kelas VII-B.
Menjelang lonceng
tanda istirahat berbunyi, cuaca terlihat mendung. Tak lama kemudian hujan pun
turun dengan derasnya. Sebentar saja pekarangan sekolah sudah penuh dengan air.
Memang sekarang sedang musim penghujan sehingga air hujan yang turun beberapa
hari yang lalu belum semuanya terserap habis ke dalam tanah sehingga ketika
hujan lagi maka sebentar saja pekarangan sekolah sudah banjir.
Setelah jam
istirahat berakhir perlahan hujan pun reda. Setelah bel tanda masuk berbunyi,
bu Kartika melangkahkan kakinya menuju kelas VIII-A. Sesampainya di depan
kelas, dia melihat lantai selasar basah. Pasti terpercik biasan air hujan,
fikirnya. Namun ketika masuk ke dalam kelas, dia juga melihat hampir seluruh
lantai kelas basah. Siswa yang berada di dalam kelas pun masih sedikit.
“Mengapa lantai
kelas ini becek, Mutia?” Tanya bu Kartika pada Mutia yang duduk paling depan.
“Anu buk, tadi
kan kami ke kantin, sepatu kami basah jadi lantainya pun ikut basah,” jelas
Mutia agak takut-takut.
“Iya, ibu tahu
tadi hujan, tapi kan rasanya tidak mungkin lantai kelas jadi becek seperti ini,
seperti habis disiram air dengan sengaja,” sahut bu Kartika kesal. Perlahan dia
berkeliling kelas memperhatikan lantai kelas yang hampir seluruhnya basah. Beberapa
siswa masuk ke dalam kelas setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Bu
Kartika segera beranjak menuju ke meja guru, mengambil absen kelas untuk
melihat berapa orang siswa yang tidak hadir pada hari itu. Ketika baru saja bu Kartika meletakkan tubuhnya ke
atas kursi untuk duduk, dia terkejut ketika menyadari bahwa kursi tersebut
basah. Kursi guru tersebut bagian atasnya terbuat dari busa, sehingga bu
Kartika tidak menyadari bahwa kursi tersebut basah. Seketika bu Kartika bangkit
dari kusinya. Sambil menahan amarah, bu Kartika bertanya pada seisi kelas.
“Kenapa kursi ini
basah, hah?” tanyanya dengan suara melengking.
Anisah yang duduk
di sebelah Mutia terkejut mendengar suara bu Kartika yang begitu keras. Tidak
pernah bu Kartika bertanya dengan suara sekeras itu. Pasti bu Kartika sangat
marah, fikir Anisah dalam hati. Perlahan dia menyenggol lengan Mutia teman
sebangkunya.
“Ssst,…Tia, kamu
tahu siapa yang menyiram kursi guru?” bisik Anisah perlahan.
“Aku gak tau,
Nis. Tadi kan kita sama-sama ke kantin,” jawab Mutia.
“Kalian sengaja ya
menyiram kursi guru sampai basah begini. Ibu tahu rencana kalian, pasti supaya
ibu tidak bisa mengajar, terus kalian bisa bermain sepuasnya,” bu Kartika
berkata lagi dengan suara keras. Semua siswa terdiam, saling berpandangan satu
sama lain, lalu tertunduk tidak berani menatap wajah bu Kartika.
“Winda yang
menyiram kursi guru, bu,” tiba-tiba Aldi menyahut dari pojok belakang kelas.
Mendengar namanya disebut spontan Winda
menoleh ke arah Aldi.
“Kamu jangan
sembarangan menuduh ya. Mana buktinya?” Winda berkata sambil melotot ke arah
Aldi.
“Benar yang
dikatakan Aldi, bu. Saya melihat tadi Winda yang menyiram kursi guru bersama
dengan Siska,” sahut Mukhtar dari belakang. Seperti halnya Winda, Siska pun kaget
dan dengan tatapan marah menatap ke arah Mukhtar. Tapi dia tidak berkata
apa-apa. Hanya wajahnya menunjukkan rasa terkejut dan takut.
Bu Kartika
menatap muridnya satu persatu. Rasa kesal, kecewa dan marah beraduk menjadi
satu. Tapi dia terpaksa harus menahan amarahnya. Dia harus segera pulang untuk
mengganti rok dan pakaian dalamnya yang basah. Tidak mungkin dia bertahan
sampai bel pulang sekolah nanti dengan kondisi basah seperti ini. Bu Kartika
lantas mengambil buku-buku dan absennya lalu sebelum keluar kelas dia kembali
berkata kepada para siswa.
“Ibu akan usut
masalah ini sampai tuntas. Ibu akan cari tahu siapa dalangnya. Ibu sangat kecewa
dengan tingkah kalian hari ini.” Bu
Kartika lalu berjalan keluar kelas.
Bu Kartika masuk
ke dalam ruang dewan guru dengan terburu-buru. Setelah mengambil kunci motor
beliau segera menemui piket untuk minta izin. Setelah menjelaskan apa yang
terjadi, bu Kartika segera meninggalkan sekolah menuju rumah.
Keesokan harinya
ketika bu Kartika baru saja memasuki ruang dewan guru, dia langsung dihadang
oleh Bu Mayang. Bu Mayang adalah wali kelas VIII-A.
“Saya dengar dari
piket kemarin anak-anak VIII-A buat ulah ketika jam bu Kartika ya bu?” Tanya Bu Mayang kepada bu Kartika yang baru saja meletakkan tasnya
di atas meja.
“Iya bu Mayang.
Saya tidak sempat menjelaskannya kemarin karena saya buru-buru pulang untuk
mengganti rok dan pakaian dalam saya yang basah,” jelas bu Kartika.
Bu Mayang
kelihatan marah mendengar jawaban bu Kartika. Dia marah sekaligus malu karena
anak kelasnya membuat onar menyiram kursi guru.
“Kita panggil
anak-anak itu sekarang ya bu. Kita beri peringatan dan hukuman supaya kejadian
ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang.”
Bu Mayang segera memanggil siswa kelas VIII-A
yang terlibat dalam kegaduhan kemarin. Setelah semuanya berkumpul mereka segera
dibawa ke ruang dewan guru untuk diinterogasi.
Winda, Siska,
Putri dan Ilham berdiri berjejer di depan bu Mayang. Semua tertunduk menatap
lantai, berharap cemas akan hukuman apa yang akan diberikan kepada mereka.
Kemarin sepulangnya bu Kartika ke rumahnya, guru piket masuk ke kelas VIII-A
dan menginterogasi kelas tersebut. Akhirnya didapatlah empat nama sebagai
pelaku utama penyiraman kursi guru. Sekarang
mereka tertunduk lesu di hadapan bu Mayang dan bu Kartika. Sepintas terlihat
raut wajah menyesal atas perbuatannya.
“Siapa yang
menyiram kursi guru kemarin?” Tanya bu Mayang dengan suara pelan namun tegas.
Tidak ada yang
menyahut. Suasana di ruangan itu terasa sepi, seakan-akan tidak ada seorangpun
yang berada di dalam ruangan itu.
“Ibu tanya sekali
lagi, siapa yang menyiram kursi guru di kelas VIII-A kemarin?” ulang bu Mayang
terdengar tak sabar.
“Saya bu,” sebuah
suara menyahut perlahan. Ternyata Winda yang berbicara.
“Saya juga bu,” Siska
turut menjawab.
“Lantas, apa
alasan kalian menyiram kursi guru?” bu Mayang kembali bertanya.
Semua kembali
terdiam, saling melirik satu sama lain. Putri terlihat paling resah, padahal
dia belum mengaku kalau dia juga pelaku penyiraman tersebut. Wajahnya terlihat
pucat dan berkeringat.
“Kalian belum
menjawab pertanyaan ibu. Kenapa kalian menyiram kursi guru?” bu Mayang kembali
mengulang pertanyaannya.
“Disuruh Putri,
bu,” Siska menjawab perlahan. Bu Mayang menoleh ke arah Putri yang berdiri
dengan wajah ketakutan.
“Betul kamu yang
menyuruh mereka menyiram kursi guru, Putri?” bu Mayang bertanya dengan nada
tidak percaya. Perlahan Putri menganggukkan kepalanya.
Bu Mayang menatap
Putri dengan tatapan heran. Selama ini Putri dikenal sebagai siswa yang disiplin, rajin dan pintar. Dia tidak pernah
membuat keributan di kelas. Semua tugas yang diberikan guru selalu dikerjakan
dan diserahkan tepat waktu. Tak heran kalau Putri menjadi siswa kesayangan guru
di kelas tersebut. Tapi pada hari ini, Putri mengaku kalau dialah yang
menyuruh teman-temannya untuk menyiram kursi guru. Bu Mayang tak habis pikir,
kenapa Putri melakukan semua itu.
“Mengapa kamu punya
ide sejelek itu, Putri?” tanya bu Mayang kembali. “Apakah kamu tidak menyadari
akibat dari perbuatan teman-teman mu itu? Apakah kamu tidak suka bu Kartika
mengajar di kelas itu? Ibu heran dan rasanya tidak percaya bahwa kamulah yang
menyuruh teman-temanmu untuk melakukan perbuatan itu.” Bu Mayang menyerang
Putri dengan pertanyaan bertubi-tubi, membuat Putri semakin takut dan
tersudutkan. Air mata mulai mengalir di pipinya, semakin lama semakin deras.
“Maafkan saya,
bu. Saya tidak menyangka akibatnya akan seperti ini. Saya hanya ingin bercanda
saja. Saya tidak punya maksud lain,” ucap Putri terbata-bata. Ketiga temannya
yang lain hanya terdiam sambil memandang Putri yang terus menangis.
Bu Mayang
menghela nafas sambil berkata,” Kalian tahu tidak? Anak bu Kartika itu sedang
sakit dan beliau terpaksa meninggalkan anaknya yang sedang sakit itu di
rumah. Bu Kartika tetap pergi ke sekolah demi kalian, supaya kalian bisa tetap
belajar dan tidak ketinggalan materi pelajaran. Tetapi kalian dengan sengaja
membasahi kursi guru supaya bu Kartika tidak bisa mengajar. Coba kalian
renungkan, gimana perasaan bu Kartika. Sudah berusaha hadir untuk kalian, eh
kalian nya malah tidak ingin belajar.”
Putri dan ketiga
temannya tertegun mendengar penjelasan bu Mayang. Bu Kartika yang duduk di
sebelah bu Mayang hanya terdiam sambil menatap ke empat siswa tersebut.
Perasaannya bercampur aduk antara kesal, marah, geli sekaligus sayang. Kesal
dan marah karena mereka sudah membuat rok dan pakaian dalamnya basah, namun
sekaligus geli membayangkan kenakalan anak-anak tersebut yang belum mengerti
akibat dari kelakuannya. Semalam sebelum tidur dia merenungkan kenakalan
anak-anak tersebut. Pasti perbuatan tersebut mereka lakukan atas dasar
keisengan semata. Pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang baik. Mungkin
kemarin mereka hanya ingin bercanda dan tidak menyangka bahwa akibanya akan
seperti itu. Namanya juga anak-anak. Dunia mereka penuh dengan canda dan tawa.
Semua ingin dibuat candaan tanpa
memikirkan akibatnya dan disinilah peran guru sebagai orang tua kedua yang
mengarahkan dan memberitahu mereka tentang perbuatan yang pantas dan yang tak
pantas dilakukan.
“Bagaimana bu
Tika? Semua keputusan ada di tangan ibu, karena mereka membuat kekacauan di
kelas ibu,” kata bu Mayang membuyarkan lamunan bu Kartika. Bu Kartika
lantas berkata sambil menatap keempat
muridnya.
“Ibu sebenarnya
sangat marah pada kalian. Ibu akan menyuruh bu Mayang mengundang orang tua
kalian ke sekolah besok supaya kalian kapok dan tidak mengulangi lagi perbuatan
kalian pada masa yang akan datang,” ucap bu Kartika. Siska, Winda, Ilham dan
Putri terkejut mendengar ucapan bu Kartika. Selama bersekolah di sini mereka
belum pernah membuat kasus hingga dipanggil orang tua.
“Ibuuu,…jangan
panggil orang tua kami buu. Kami janji tidak akan mengulangi perbuatan seperti
ini lagi. Kami janji buuu,….” Putri terlihat histeris. Air mata berderai lagi
di kedua pipinya. Teman-temannya yang lain pun mulai menangis. Bu Kartika
sebenarnya tidak sampai hati membuat siswanya menangis seperti ini, tapi ini
terpaksa dia lakukan supaya murid-muridnya itu tidak mengulangi perbuatan
seperti itu lagi.
Bu Mayang dan bu
Kartika saling melempar pandang. Perlahan bu Kartika menganggukkan kepalanya,
dan bu Mayang paham akan kode yang diberikan bu Kartika. Sekian menit mereka
membiarkan keempat siswa itu menangis tersedu. Setelah ruangan kembali senyap,
bu Kartika kembali angkat bicara.
“Baiklah,…ibu
memaafkan kesalahan kalian. Tapi kalian harus berjanji bahwa kalian tidak akan
mengulangi perbuatan ini lagi sampai kapan pun. Kalian bersedia?”
“Kami bersedia bu.
Kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Terimaksih banyak ibuu,” Putri
terisak namun terlihat lega. Bu Kartika dan bu Mayang saling melempar senyum
memperhatikan tingkah murid-muridnya itu. Kelihatan sekali mereka begitu lega
setelah mendengar ucapan bu Kartika tadi.
“Ayo sekarang
kembali ke kelas kalian, tapi sebelumnya bersalaman dulu dengan bu Kartika
sambil minta maaf,” perintah bu Mayang.
Segera keempatnya
berbaris menyalami bu Kartika dan bu Mayang bergantian. Mereka berjanji dalam
hati tidak akan mengulangi perbuatan iseng ini lagi. Bu Kartika menyalami
keempatnya sambil mengusap bahu mereka. Selalu ada cinta di hati seorang guru
untuk murid-muridnya dan selalu ada segudang maaf bagi tiap kenakalan mereka.
Bu Kartika memandangi punggung keempat murid-muridnya yang semakin menjauh.
Semoga kelak mereka jadi orang yang berguna bagi orang lain, bathinnya.
SELESAI
No comments:
Post a Comment