Sahabat Sejati
Putri memasuki ruang kelas 8C
sambil tersenyum riang. Hari ini sahabatnya berulang tahun dan dia sudah mempersiapkan
sebuah kejutan kecil untuk sahabatnya itu. Teman-temannya yang lain sudah
diajaknya bekerja sama untuk membuat kejutan ulang tahun buat Marlinda. Tak
sabar rasa hatinya menunggu kedatangan Marlinda.
Pukul 07.15 Marlinda tiba di
gerbang sekolah. Rendi yang bertugas sebagai pengintai langsung berlari
memasuki ruang kelas.
“Teman-temaaan,...Marlinda
sudah datang,” teriaknya begitu memasuki kelas. Serentak teman-temannya yang
lain bersiap-siap melakukan tugasnya masing-masing.
Begitu Marlinda memasuki
ruang kelas, teman-temannya bersorak menyambutnya.
“Selamat ulang tahuuunnn,...”
teriak teman-temannya serentak.
Kertas warna-warni yang sudah
dipotong kecil-kecil nampak bertebaran di udara. Raka yang bertugas
menebarkannya. Kertas-kertas tersebut sebagian memenuhi kepala Marlinda dan
sebagian yang lain menyebar di kepala teman-temannya.
Putri memegang kue ulang
tahun di tangannya, diatas kue tersebut tertancap dua buah lilin bertuliskan
angka 15, tetapi tidak dinyalakan karena guru agama mereka telah berpesan agar
tidak meniup lilin dalam ucara ulang tahun karena hal tersebut dilarang dalam
agama Islam.
Marlinda menatap semua
teman-temannya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak menyangka mendapat kejutan
manis di pagi ini.
“Satu, dua, tigaa,” Yanti
memberi komando.
“Selamat ulang
tahun kami ucapkan
Selamat
panjang umur kita kan doakan
Selamat
sejahtera sehat sentosa
Selamat
panjang umur dan bahagia.
Panjang
umurnya panjang umurnya
Panjang
umurnya serta mulia serta mulia
Serta mulia ……
Panjang
umurnya panjang umurnya
Panjang
umurnya serta mulia
Serta
mulia...serta mulia
Potong kuenya
potong kuenya
Potong kuenya
sekarang juga
Sekarang
juga...sekarang jugaa.”
Teman-temannya bernyanyi
dengan penuh semangat sambil mengelilinginya. Putri lalu meletakkan kue ulang
tahun tersebut diatas meja dan menyerahkan pisau kecil kepada Marlinda.
Marlinda memotong kue tersebut lantas menyuapkannya ke mulut Putri.
“Selamat ulang tahun ya
Linda,” ucap Putri.
“Terimakasih ya Put, pasti
ini semua rencana kamu,” sahutnya. Putri hanya tersenyum lebar sambil mengunyah
kuenya. Bergantian Marlinda menyuapi temannya satu persatu hingga kue tersebut
ludes masuk ke perut mereka bertepatan dengan munculnya bu Zainah di depan
pintu kelas.
“Assalamu’alaikum anak-anak,”
bu Zainah masuk sambil memberi salam.
“Wa’alaikumsalam,” serentak
mereka menjawab salam.
“Wah ada acara ulang tahun
kelihatannya nih ya,” ucap bu Zainah sambil memperhatikan keadaan kelas yang
berantakan.
“Iya bu, Marlinda berulang
tahun hari ini,” sahut Putri sambil melirik ke arah Marlinda. Yang dilirik
hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Ide siapa ini?”
tanya bu Zainah lagi.
“Putri, bu,”
sahut Raka spontan.
“Bagus kalau acaranya
seperti ini, tidak menyengsarakan kawan yang sedang berulang tahun. Kalian
jangan meniru perbuatan orang-orang yang merayakan ulang tahun temannya dengan
memecahkan telur di kepala lalu disiram dengan tepung. Perbuatan tersebut
tergolong perbuatan sia-sia dan menyusahkan orang yang sedang berulang tahun,”
ujar bu Zainah menasehati siswanya.
“Ya buu … ,”
sahut siswa kelas 8C serentak.
“Nah, sekarang
tinggal kita bersihkan saja kelasnya supaya belajarnya jadi enak. Ayo ambil
sapunya kita bersihkan lantainya,” ajak bu Zainah.
Seluruh siswa
bekerja membersihkan kelas mereka dari sampah kertas berwarna yang bertebaran
di lanatai kelas. Bu Zainah memperhatikan siswanya bekerja sambil tersenyum.
Dalam hati dia mengakui bahwa kelas 8C ini memang kelas yang kompak.
Bu Zainah lantas
memulai pelajaran dengan mengajak siswa berdoa lalu mengabsen siswa satu
persatu.
“Baiklah
anak-anak sekalian, hari ini kita akan mempelajari tentang cara membuat perahu
mainan dengan sumber arus listrik DC. Ibu harap kalian fokus memperhatikan apa
yang akan ibu jelaskan berikut ini,” ucap bu Zainah sambil menghidupkan
in-focus.
Di layar in-focus
terlihat power point yang berisikan
penjelasan tentang pembuatan perahu mainan dengan sumber arus listrik DC.
“Sebelum membuat
perahu mainan ini, kita harus membuat perencanaan terlebih dahulu,” jelas bu
Zainah lagi.
“Perahu mainan
otomatis akan bergerak apabila tombol On ditekan, dan sebaliknya perahu mainan
akan berhenti bergerak pada saat tombol Off ditekan,” lanjutnya lagi.
“Pembuatan perahu
mainan ini berdasarkan bahan dan alat yang
tersedia di lingkungan kalian, dibuat dengan penuh tanggung jawab dengan
memperhatikan prinsip kerja,” jelas bu Zainah menegaskan.
“Ada yang mau
bertanya sebelum ibu lanjutkan?” tanya bu Zainah pada seluruh kelas.
“Saya bu,” ucap
Marlinda sambil mengacungkan tangan.
“Ya, silahkan
Marlinda,” ujar bu Zainah.
“Apakah nanti
perahu mainan ini bisa benar-benar berjalan di atas air, bu?” tanyanya.
“Insyaallah tentu
bisa, kalau kita mengerjakannya dengan benar mengikuti langkah-langkah kerja
yang juga benar,” ucap bu Zainah bersemangat.
Beliau paling
senang bila ada siswa yang bertanya, karena kelas akan menjadi hidup bila
siswanya aktif bertanya. Selain itu dengan bertanya, pelajaran yang berlangsung
dianggap menarik karena siswa ingin tahu tentang materi yang sedang dijelaskan
saat itu.
“Siapa lagi yang
ingin bertanya?” tanya bu Zainah kembali.
“Saya bu,” sahut
Putri tak mau kalah.
“Ya, silahkan
Putri,” ucap bu Zainah.
“Apakah nanti
kita bekerja secara individu atau kelompok, bu?” tanyanya.
“Ya, pertanyaan
yang bagus. Tentu saja kita nanti akan bekerja secara berkelompok, karena kita
akan membutuhkan bahan-bahan dan peralatan yang lumayan banyak sehingga bisa
saling membantu,” jelas bu Zainah.
“Hari ini kita
belum bekerja secara berkelompok, hari ini ibu hanya akan menjelaskan tentang
peralatan, bahan dan langkah-langkah kerjanya saja dulu,” ucap bu Zainah.
Tiba-tiba pintu
kelas diketuk dari luar diiringi ucapan salam.
“Assalamu’alaikum,”
ucap bu Yus di depan pintu kelas.
“Wa’alaikumsalam,”
sahut bu Zainah dan beberapa siswa.
“Maaf bu Zainah
mengganggu sebentar. Ini ada siswa baru pindahan dari Jakarta,” ucap bu Yus
sambil memegang tangan seorang siswa laki-laki yang tampak malu-malu berdiri
disebelahnya.
“Oh ya bu, silahkan,”
ucap bu Zainah terpaksa menghentikan penjelasannya tentang perahu mainan.
Seluruh siswa
kelas 8C memperhatikan siswa baru tersebut. Siswa tersebut terlihat rikuh
dipandangi oleh seisi kelas.
“Sst,…Putri,
anak baru itu ganteng ya?” Marlinda
berbisik ditelinganya.
“Hmm,…
lumayaaann,” Putri menyahut dengan cueknya tapi matanya tidak lepas dari siswa
baru itu.
“Bu, suruh dia
memperkenalkan diri ya bu,” tiba-tiba Marlinda bersuara dengan lantang.
“Ya, nanti kita
suruh dia memperkenalkan dirinya. Sekarang kita suruh dia duduk dulu. Kamu
boleh duduk di sebelah Andri ya nak,” ucap bu Yus sambil menunjuk ke arah kursi
kosong yang ada di sebelah Andri. Setelah berbicara sebentar dengan bu Zainah
beliau langsung keluar.
Perhatian seluruh
siswa kelas 8C sekarang hanya tertuju pada siswa baru tersebut. Semua saling
berbisik antara satu dengan yang lain sehingga kelas jadi riuh.
“Hmm, baiklah
anak-anak. Kelihatannya kalian sudah tidak fokus ke materi lagi. Sekarang kita
minta dulu teman kita yang baru ini untuk memperkenalkan dirinya di depan
kelas,” ucap bu Zainah menenangkan kelas.
“Horee,…” teriak
Marlinda sambil bertepuk tangan.
“Hush …,” ucap
Putri sambil menyenggol tangannya. Marlinda tidak memperdulikan ucapan Putri,
malah dia berdiri dengan penuh semangat sambil menyuruh siswa baru tersebut
maju ke depan kelas memperkenalkan diri.
“Ayoo,…maju. Kamu
harus memperkenalkan diri di depan kita semua,” ucap Marlinda bersemangat.
Siswa baru tersebut lantas berdiri dan maju ke depan kelas. Dia berjalan dengan
penuh rasa percaya diri.
Sampai di depan
kelas, dia berdiri menatap seisi kelas sambil tersenyum, sehingga kelihatan
kedua lesung pipinya.
“Woooww, Putri
lihat senyumnyaa, maniiisss sekaliii… ,” Marlinda kembali berbisik.
“Ah, kamu ini
norak, biasa aja keles,” timpal Putri
sedikit kesal. Marlinda mencibirkan bibirnya ke arah Putri, lantas kembali
menatap siswa baru tersebut.
“Hallo
teman-teman semua, nama saya Deni Febrian, saya pindahan dari SMP Negeri 42
Jakarta Timur,” ucapnya pada seisi kelas.
“Alamatnya, tempat
tanggal lahir, hobbi, makanan favorit, no handphone,” teriak Marlinda dari tempat
duduknya.
“Hush kamu ini
Marlinda, kalau nanya satu persatu dong, dia kan jadi bingung jawabnya,” ujar
bu Zainah sambil menenangkan kelas yang tiba-tiba jadi berisik.
Marlinda hanya
tersenyum tak menanggapi ucapan gurunya, lalu kembali sibuk menginterogasi
siswa baru tersebut diikuti beberapa siswa yang lain. Sejenak bu Zainah
membiarkan hal tersebut berlangsung. Biarlah anak-anak sesekali
bersenang-senang, ucapnya dalam hati.
Bu Zainah melirik
arloji di pergelangan tangannya, sudah pukul 08.45 WIB. Waktunya sudah hampir
habis, giliran mata pelajaran lain yang masuk.
“Baiklah ana-anak
ibu semua, waktu kita sudah hampir habis. Minggu depan akan ibu lanjutkan lagi
penjelasan tentang pembuatan perahu mainan dengan sumber arus listrik DC. Tugas
kalian adalah membaca buku di perpustakaan tentang cara pembuatan perahu mainan
tersebut atau men-download dari
internet. Sebelum ibu akhiri mari kita mengucapkan hamdalah bersama-sama,” ucap
bu Zainah mengakhiri pelajaran.
*******
Malam ini
Marlinda terlihat gelisah, berjalan mondar-mandir di kamarnya. Buku-buku
pelajaran tampak berserakan di atas meja, belum satupun yang dia sentuh.
Hatinya masih diliputi tanda tanya tentang kejadian pulang sekolah siang tadi.
Sejak kehadiran siswa baru itu di kelas mereka, hubungannya dengan Putri
terlihat agak sedikit renggang. Putri terlihat sering mengobrol dengan Deni,
tanpa mengajaknya ikut serta. Siang ini pun sewaktu bel pulang berbunyi, Putri
tiba-tiba sudah menghilang entah kemana. Biasanya mereka selalu pulang berdua
karena memang rumah mereka searah.
Tiba-tiba
layar handphone nya menyala diiringi
nada pemberitahuan. Malas-malasan dia raih benda tersebut. Matanya tiba-tiba
melotot melihat status terbaru Putri di media sosial. Tampak Putri dan Deni
sedang menikmati es kelapa muda di warung dekat sekolah mereka sambil tertawa
ceria. Hatinya terasa panas, dibantingnya benda tak bersalah itu ke atas tempat
tidur.
“Hmm,…pantas
tadi Putri tidak menungguku pulang sekolah, ternyata dia pergi minum es kelapa
muda dengan si Deni. Dasar sok lugu, sok cuek, padahal demen,” gerutunya dalam hati.
Diraihnya
handphone
nya lalu diketiknya pesan singkat untuk Putri.
“Dasar
muna lu Put,” tulisnya.
“Maksud
lo ?” balas Putri beberapa detik
kemudian.
“Gak
usah belagu deh lo, ga usah pura-pura
tidak tahu,” balas Marlinda lagi.
“Suer, ada apa?” tanya Putri.
“Mentang-mentang
lo dah jadian sama Deni, gua lo tinggalin ya. Teman macam apa kamu,”
tulis Marlinda.
“Ups,…sori,
ini tentang status gue ya?” tulis Putri.
“Pura-pura
nanya lagi,” balas Marlinda.
Tidak
ada balasan dari Putri.
“Put…,”
ketik Marlinda.
Tetap
tak ada jawaban.
“Huh…,”
dengusnya kesal. Ditariknya selimut dan mencoba untuk tidur meski dia tahu dia
tidak akan bisa tidur malam ini.
Keesokan
paginya dia tidak bertegur sapa dengan Putri. Biasanya dia menunggu Putri di
depan rumahnya untuk bersama-sama berangkat ke sekolah, tapi tadi pagi dia
langsung berangkat tanpa menunggu Putri lewat di depan rumahnya.
“Linda…,”
Putri menegurnya.
Marlinda
memalingkan wajahnya. Hatinya masih kesal dengan peristiwa semalam. Diambilnya
tasnya lalu pindah duduk di sebelah Ayu. Kebetulan Rini tidak hadir hari ini.
“Kenapa Lin, kok
pindah tempat duduk?” tanya Ayu.
“Gak ada apa-apa,
aku lagi kesel sama si Putri,” sahut Marlinda sambil membuka tas nya.
“Jangan berantem
dong, kalian kan udah sahabatan dari kelas VII. Memangnya ada masalah apa sih,”
tanya Ayu ingin tahu.
“Tidak ada
masalah apa-apa kok. Cuma lagi kesel aja,” sahutnya lagi.
Ayu masih ingin
bertanya tapi tiba-tiba bu Zainah sudah berdiri di ambang pintu kelas mereka.
“Assalamu’alaikum,”
ucapnya memberi salam.
“Wa’alaikumsalaamm,”
jawab siswa kelas 8C serentak.
Bu Zainah segera
membuka pelajaran. Setelah berdoa dan mengabsen siswa, beliau memberikan
motivasi dan apersepsi dilanjutkan dengan memberitahukan tujuan pembelajaran
pada hari itu.
“Nah, anak-anak
ibu semua, minggu lalu kita sudah membahas sedikit tentang materi kita yaitu
pembuatan perahu mainan dengan bantuan arus listrik DC. Hari ini kita akan
lanjutkan pembahasan pembuatan mainan tersebut,” ujarnya sambil menyalakan
in-focus.
“Nah, coba kalian
perhatikan tayangan berikut ini. Di layar in-focus terlihat bahan-bahan dan
peralatan yang akan kita gunakan untuk membuat perahu mainan ini,” lanjutnya
lagi.
Bu Zainah
melayangkan pandangannya ke seluruh kelas untuk memastikan bahwa seluruh siswa
memperhatikan penjelasannya. Selintas diperhatikannya Marlinda tidak duduk
sebangku dengan Putri, namun tidak begitu dipedulikannya. Perhatiannya kembali
tertuju pada laptop dan layar in-focus.
“Coba kalian
lihat di layar, peralatan yang kita butuhkan nanti adalah gunting seng,
meteran, cutter, palu, paku, pulpen, mistar atau penggaris,” ucap bu Zainah
sambil menunjukkan gambar satu persatu.
“Lalu bahan-bahan
yang kita butuhkan nanti antara lain adalah tempat baterai, baterai 2 buah,
motor lisrik DC, tutup botol, kabel, gabus bekas ukuran 10cm x 15cm, saklar,
dan tusukan permen,” lanjutnya lagi sambil menunjuk ke arah layar in-focus.
“Marlinda, apa
yang sedang kamu pikirkan, tolong focus ke pelajaran yang sedang kita bahas,”
tegur bu Zainah membuat lamunan Marlinda terputus. Dia tersentak mendengar
teguran tersebut, lalu berusaha untuk kembali konsentrasi meskipun dirinya
masih memikirkan status Putri semalam.
“Coba kalian
perhatikan langkah-langkah untuk membuat perahu mainan dengan sumber arus
listrik DC di layar in-fokus,” ujar bu Zainah kembali.
“Langkah pertama
adalah siapkan gabus bekas kemudian gambar sketsa perahu dengan menggunakan
pulpen lalu siapkan cutter untuk membentuk gabus menjadi sebuah perahu mainan.
Ikuti gambar sketsa yang sudah dibuat,” jelas bu Zainah melanjutkan.
“Sambungkan kabel
baterai ke saklar dan kabel baterai satu ke motor listrik DC. Selanjutnya
siapkan kabel untuk menyambungkan saklar dengan motor listrik DC,” lanjutnya.
“Siapkan tutup
botol bekas dan ratakan dengan menggunakan palu. Kemudian lubangi tengah tutup
botol dengan paku, lalu bentuklah tutup botol seperti baling-baling dengan
menggunakan gunting seng,” lanjutnya lagi sambil mengedarkan pandangan ke seisi
kelas.
“Selanjutnya
masukkan tusuk permen ke dalam lubang baling-baling dan pasanglah rangkaian di
tempat yang telah disiapkan masing-masing pada gabus.”
“Setelah itu
pasang tusuk permen ke motor listrik DC, kemudian pasang baterai pada tempat
baterai, perhatikan kutub positif dan negatif baterai.”
“Nah, perahu
mainan sudah selesai. Untuk tahap pengujian siapkan baskom yang berisi air
kemudian masukkan perahu mainan ke dalam baskom tersebut. Tekan tombol on untuk
menyalakan perahu mainan dan tekan off untuk memetikan perahu mainan,” bu
Zainah mengakhiri penjelasannya sambil menunjukkan perahu mainan yang sudah
jadi.
Semua perhatian
siswa tertuju pada perahu mainan tersebut kecuali Marlinda dan Putri. Keduanya
tampak termenung sambil memainkan pulpen di tangan masing-masing.
“Marlinda! Putri!
Apa yang sedang kalian lamunkan. Ibu perhatikan dari tadi kalian berdua tidak
memperhatikan materi pelajaran yang sedang ibu jelaskan,” tegur bu Zainah
dengan nada yang sedikit tinggi.
Marlinda dan
Putri gelagapan lalu saling menoleh satu sama lain namun buru-buru memalingkan
muka masing-masing.
Bu Zainah
langsung paham ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi antara keduanya.
“Baiklah
anak-anak ibu semuanya. Setelah semuanya
paham dengan penjelasan ibu tadi, maka tiba waktunya sekarang kalian duduk
berkelompok untuk mendiskusikan materi tadi sekaligus berbagi tugas agar proyek
ini bisa selsai tepat pada waktunya,” jelas bu Zainah.
“Di tangan ibu
ada keranjang kecil berisi kertas warna-warni. Setiap orang akan mengambil satu
kertas dengan mata tertutup,” ucap bu Zainah sambil berjalan ke arah Mifta yang
duduknya paling dekat pintu kelas.
“Ayo Mifta, kamu
ambil kertas ini satu lembar tapi dengan mata tertutup,” Bu Zainah
mengangsurkan keranjang mungil berwarna merah jambu tersebut ke hadapan Mifta.
Mifta mengambil
selembar kertas dengan mata terpejam, yang terambil adalah kertas berwarna
biru.
Ketika tiba
giliran Putri, Marlinda melirik sahabatnya itu mengambil kertas berwarna ungu.
Dalam hatinya menebak, jangan-jangan yang memiliki warna kertas yang sama akan
duduk satu kelompok.
Akhirnya tiba
gilirannya. Dengan hati berdegup kencang, buru-buru diambilnya salah satu
kertas yang barusan diintipnya berwarna hijau.
“Halloo Marlinda,
jangan diambil dulu. Ibu belum mengaduknya,” sentak bu Zainah sambil mengambil
kembali kertas berwarna hijau tersebut dari tangannya. Dalam hatinya menggerutu
tak senang namun dia terpaksa menyerahkan kertas itu.
“Nah sekarang
kamu tutup mata dulu baru memilih kertasnya,” lanjut bu Zainah.
Marlinda dengan
tangan agak gemetar mengambil selembar kertas. Setelah mengambi selembar, masih
dengan mata terpejam, diletakkannya kembali lalu mengambil kertas yang lain.
Hatinya penuh harap jangan sampai kertas berwarna ungu yang terpilih. Ketika
dia membuka mata, jantungnya seperti berpindah dari tempatnya. Ditangannya
terselip selembar kertas kecil berwarna ungu. Dengan wajah cemberut di tatapnya
kertas tersebut. Huh! Mulai hari ini aku benci warna ungu!” sungutnya dalam
hati.
“Nah anak-anak
ibu semua, sekarang kalian duduk berkelompok menurut warna kertas masing-masing
ya. Yang memiliki
kertas warna merah duduk satu kelompok dengan yang memiliki warna merah juga,
begitu seterusnya,” ujar bu Zainah menjelaskan sistem pembagian kelompok.
“Coba dengar
semuanya! Tidak ada yang bergerak sebelum ibu perintahkan! Kelompok kertas
berwarna biru duduk di pojok depan sebelah kanan. Kelompok kuning duduk dt
tengah bagian depan, kelompok hijau di sudut kiri bagian depan. Selanjutnya
kelompok merah jambu di sudut kiri bagian belakang, kelompok ungu di tengah
belakang dan kelompok merah di pojok
kanan belakang,” jelas bu Zainah sambil menunjuk dengan tangannya posisi
masing-masing kelompok.
“Sekarang boleh
bergerak membentuk kelompok masing-masing. Kursinya diangkat, tidak boleh
berisik, ibu beri waktu 5 menit,” ucap bu Zainah menegaskan.
Semua siswa mulai
bergerak membentuk kelompok. “Huft, apa kubilang, pasti warna yang sama akan
menjadi teman satu kelompok,” dengus Marlinda kesal dalam hatinya. Kok bisa
pula aku satu kelompok dengannya, sebel, gerutunya lagi dalam hati.
Malas-malasan diseretnya kursinya kearah kelompok ungu. Dengan wajah cemberut
dia duduk diantara teman-temannya.
Putri meliriknya
dengan sudut matanya. Dalam hatinya juga menggerutu hal yang sama seperti
Marlinda. ”Ihh, kok bisa seh aku satu
kelompok dengan dia,” dengusnya dalam hati.
“Baiklah
anak-anak ibu semua, sekarang kalian berdiskusi dalam kelompok. Diskusikan
proyek yang akan kalian garap nanti. Tentukan di rumah siapa nanti kalian akan
mengerjakan proyek ini, dan jangan lupa diskusikan juga peralatan dan
bahan-bahan yang harus dibeli atau dicari,” lanjut bu Zainah lagi.
Kelas mulai
terdengar bising karena setiap kelompok mulai berdiskusi. Hanya kelompok ungu
yang terlihat sepi. Kelompok yang terdiri dari 4 orang siswa itu hanya duduk
berpandangan satu sama lain. Intan dan Ferdi saling berpandangan sambil melihat
kearah Marlinda dan Putri. Ferdi bertanya dengan isyarat mata. Intan mengangkat
bahunya sambil menggelengkan kepala.
Akhirnya setelah
beberapa menit berlalu, Ferdi mengambil inisiatif berbicara.
“Ehmm,… bagaimana
kalau kita besok sore kumpul di rumah Intan? Besok saja kita bicarakan tentang
bahan-bahan dan peralatan yang harus kita siapkan,” ucapnya sambil memandangi
teman-temannya. Marlinda menatapnya tanpa ekspresi, begitu juga dengan Putri,
terlihat asyik mengetuk-ngetuk meja dengan pulpennya, tak memperdulikan ucapan
Ferdi.
Dengan wajah
kesal Ferdi mengalihkan pandangannya ke arah Intan seolah meminta bantuan.
“Gimana Lin,
Putri, besok kita kumpul di rumahku ya?” ucap Intan sambil menyentuh siku
Marlinda. Marlinda menghela nafas lalu mengangguk sambil lalu.
“Gimana Put? Kamu
bersedia kan?” tanya Intan lagi. Sebenarnya dia sudah kesal dengan kedua
temannya ini, tapi demi nilai kelompok terpaksa disabarkannya hatinya.
‘Hmm,…liat besok
deh,” jawab Putri lirih. Hatinya tak kalah kesalnya terhadap Marlinda. Salah
dia apa coba, cuma minum es kelapa muda dengan Deni lalu pasang status di fb,
kok Marlinda jadi sewot, gerutunya dalam hati. Memangnya cuma dia aja yang bisa
marah, aku juga bisa, dengusnya lagi dalam hati.
“Baiklah
anak-anak, bel istirahat sudah berbunyi. Jangan lupa proyek ini harus selesai
tepat waktu. Ibu beri waktu dua minggu untuk menyelesaikannya,” ujar bu Zainah
menutup pelajaran.
*********
Dua
minggu sudah berlalu sejak bu Zainah memberikan tugas proyek membuat perahu
mainan. Hari ini tugas tersebut harus dikumpulkan. Setiap kelompok sibuk dengan
perahu masing-masing. Ada yang mengutak-atik perahu yang belum bisa berjalan,
ada yang bersorak kegirangan karena perahunya melaju dengan kencang di atas
baskom beisi air.
Bu
Zainah masuk ke kelas 8C dengan penuh semangat. Beberapa hari yang lalu
beberapa kelompok mendatanginya untuk membicarakan tentang kendala yang mereka
hadapi. Dari situ bu Zainah bisa tahu bahwa siswanya sangat antusias dengan
proyek ini. Semua ingin mendapatkan hasil yang terbaik.
“Assalamualaikuumm,”
bu Zainah menyapa siswanya dengan ceria.
“Waalaikumsalaamm,”
sahut mereka serentak.
“Sebelum
kita memulai pelajaran sebaiknya kita awali dengan berdoa dulu. Ayo ketua kelas
tolong pimpin doanya,” ujar bu Zainah. Zaki sang ketua kelas segera memimpin
doa.
“Baiklah
anak-anak ibu semua, supaya lebih bersemangat mari kita senam pinguin terlebih
dahulu, ayo bentuk formasi,” ucap bu Zainah sambil menghidupkan layar in-focus
dan pengeras suara.
Siswa
kelas 8C berteriak kegirangan sambil berdiri mengambil posisi masing-masing.
Mereka sudah terbiasa dengan senam ini maka sudah tahu cara berdiri dan
mengambil posisi. Memang pelajaran bila diawali dengan senam, lagu atau games
maka bisa dipastikan kegiatan pembelajaran pada hari itu akan lebih
bersemangat.
Bu
Zainah memimpin senam penguin di depan kelas dengan penuh semangat diikuti oleh
para siswa. Namun tidak demikian halnya dengan Ferdi, Intan, Putri dan
Marlinda. Mereka berempat terlihat lesu dan tidak bergairah. Mereka mengikuti
gerakan senam dengan setengah hati sepertinya ada masalah berat yang sedang
menghampiri.
Beberapa
menit kemudian kegiatan senam penguin pun usai. Para siswa segera kembali ke
tempat duduk masing-masing. Bu Zainah lantas memeriksa kehadiran siswa satu
persatu.
“Alhamdulillah
hari ini anak-anak ibu hadir semua. Kita patut bersyukur kepada Allah yang
sudah memberikan kita kesehatan sehingga kita bisa ke sekolah pada hari ini,”
ujar bu Zainah mengawali pelajaran
“Nah,
seperti janji kita dua minggu yang lalu, maka hari ini tibalah saatnya kalian
menyerahkan tugas proyek kalian sekaligus mempresentasikan cara pembuatannya di
depan kelas,” lanjut bu Zainah.
“Sekarang
tiap kelompok duduk di posisi masing-masing seperti yang sudah ibu atur dua
minggu yang lalu,” bu Zainah memberi instruksi.
Semua
kelompok mengambil tempat masing-masing termasuk kelompok ungu yang terdiri dari Marlinda, Putri,
Intan dan Ferdi. Mereka berjalan gontai menuju kelompoknya. Intan terlihat
pucat demikian juga dengan Ferdi. Sebaliknya Marlinda dan Putri terlihat agak
santai meskipun terlihat ada rasa gundah di wajah keduanya.
Putri
melirik kearah kelompok hijau dimana Deni terlihat asyik mengutak-atik perahu
mainannya bersama anggota kelompoknya. Dengan perasaan kesal dialihkannya
tatapannya ke arah Marlinda yang kebetulan sedang meliriknya. Sontak keduanya
saling membuang muka. Intan dan Ferdi menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah
keduanya.
“Nah
anak-anak ibu semuanya, hari ini kita akan mempresentasikan hasil kerja kita
masing-masing di depan kelas. Setiap kelompok yang ibu panggil harap maju ke
depan semuanya dan membawa perahu mainannya,” ujar bu Zainah dengan suara
keras.
“Kelompok
biru harap maju ke depan,” panggil bu Zainah dengan suara nyaring.
Kelompok
biru maju dan memaparkan hasil kerja kelompok mereka. Perahu mainan yang mereka
hasilkan terlihat sangat menarik dengan perpaduan warna biru dan putih meskipun
ketika dinyalakan lajunya tidak begitu sempurna namun tetap mendapat tepukan
yang cukup meriah dari seisi kelas.
Tiba
giliran kelompok ungu di panggil ke depan, Marlinda dan Putri terlihat saling
berpandangan. Ferdi dan Intan terlihat semakin pucat. Tidak ada yang bergerak
dari kursi masing-masing.
“Halloooo,…
kelompok ungu, silakan maju ke depan,” bu Zainah kembali memanggil kelompok
mereka. Dengan wajah kecut Ferdi mengacungkan tangan.
“Maaf
bu, proyek kami belum selesai,” ucapnya dengan suara nyaris tak terdengar.
“Apa?”
bu Zainah bertanya dengan nada tidak yakin.
“Benar
bu, proyek kami belum selesai,” lanjut Intan sambil tertunduk.
Bu
Zainah menghela nafas sambil memandangi mereka bergantian. Dalam hati dia
bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Belum pernah Marlinda atau Putri
tidak selesai mengerjakan tugas baik tugas individu maupun kelompok. Pasti ada
sesuatu yang tidak beres, bathinnya.
“Dengan
sangat terpaksa ibu harus mengatakan bahwa kelompok kalian dinyatakan gagal
dalam proyek kali ini. Itu artinya kalian tidak mendapatkan nilai alias nol.
Kemudian nilai sikap tanggung jawab dan kerjasama pun tidak ada nilai,” ujar bu
Zainah sambil memandangi keempat siswanya tersebut.
Marlinda,
Putri, Intan dan Ferdi hanya bisa tertunduk mendengar ucapan bu Zainah. Mereka
menjadi pusat perhatian kelompok lain, termasuk kelompok Deni. Rasa malu
tiba-tiba menyelimuti hati Marlinda, namun perasaan itu ditepisnya manakala dia
ingat permusuhannya dengan Putri. Huft,…ini semua gara-gara si Putri, gerutunya
dalam hati.
“Dengar,
ibu beri kalian waktu selama seminggu untuk menyelesaikan proyek ini. Bila
kalian gagal lagi, maka dengan sangat terpaksa ibu akan mengosongkan nilai
kalian untuk kompetensi ini dan nilai akhir tetap akan ibu bagi dengan empat
kompetensi dan hal itu sangat mempengaruhi nilai akhir kalian,” jelas bu
Zainah.
“Bagaimana,
kalian mengerti apa yang ibu maksud?” tanya bu Zainah memastikan.
Mereka
serentak menganggukkan kepala. Ferdi dan Intan melirik ke arah Putri dan
Marlinda. Mereka tidak yakin waktu seminggu yang diberikan bu Zainah bisa
mereka gunakan untuk menyelesaikan proyek mereka.
“Baiklah
anak-anak, kita lanjutkan presentasi berikutnya dengan kelompok merah,” ujar bu
Zainah sambil memberi isyarat ke arah kelompok merah.
********
Keesokan
harinya Putri tiba paling awal di sekolah. Setelah meletakkan tas dia langsung
ke kantin belakang. Perutnya tak sabar ingin diisi karena di rumah tadi dia
tidak sempat sarapan. Kakaknya yang tadi pagi mengantarnya ke sekolah harus buru-buru ke kampus sehingga
terpaksa dia pun harus buru-buru pula kalau tidak ingin berjalan kaki sendirian
sampai ke sekolah.
Begitu
tiba di pintu kantin, matanya langsung terbelalak melihat dua sejoli sedang
asyik menikmati sarapan. Duduknya memang tidak begitu dekat namun dari bahasa
tubuhnya kelihatan kalau mereka sangat akrab. Mereka tidak menyadari
kehadirannya karena sedang asyik mengamati buku yang sedang di pegang Deni.
Buru-buru Putri memutar langkah kembali ke kelas. Hatinya terasa panas dan
rasanya ingin menangis. Apakah mereka pacaran? Ataukah hanya sekedar berteman?
Sejak kapan mereka jadi demikian akrab? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam
benaknya.
Pelajaran
pertama diikutinya dengan setengah hati, padahal dia sangat menyukai pelajaran
IPA. Suara bu Eka yang sedang menjelaskan pelajaran pun terdengar seperti
berlalu begitu saja karena fikirannya sedang tidak focus. Hatinya gelisah teringat
pemandangan yang baru saja disaksikannya di kantin.
Saat
matanya melirik Deni, terlihat anak itu sedang tersenyum-senyum sendirian.
Makin yakin hatinya kalau Deni sedang merasa sangat bahagia. Perlahan
dialihkannya tatapannya ke arah
Marlinda. Sahabatnya yang sekarang sedang dimusuhinya itu terlihat sedang
memperhatikan penjelasan bu Eka meskipun Putri yakin bahwa Marlinda tidak
seratus persen memperhatikan pelajaran.
Dihelanya nafas
perlahan. Ingin rasanya berbaikan dengan Marlinda, tapi dia merasa gengsi
menegur duluan. Bukankah Marlinda yang lebih dulu menebar permusuhan dengannya?
Huft, dengan langkah gontai dia permisi ke kamar mandi, sekedar ingin
menghilangkan keresahan yang tiba-tiba terasa begitu menyesakkan dada.
********
Malam ini udara
terasa demikian gerah. Marlinda berbaring di kamarnya sambil mendengarkan music
dari handphone nya. Pikirannya terasa
kacau, teringat akan tugas proyek kelompoknya
yang belum selesai. Ingin rasanya berbaikan dengan Putri, tapi hatinya
merasa malu menegur duluan.
Setelah berbalik
kiri kanan namun tak juga bisa tertidur, Marlinda meraih handphone nya. Iseng dibukanya facebook
sekedar melihat-lihat pemberitaan terbaru.
Matanya terpaku
ketika melihat foto Deni berdua dengan seorang perempuan terpampang di beranda facebook nya disertai caption,” sayang kamu banyak-banyak, sekarang dan selamanya”.
Keningnya
berkerut memperhatikan foto tersebut. Loh, ini kan Shinta, siswa kelas 8A. Kok
bisa mereka berpose semesra ini, ucapnya dalam hati. Terus,… apakah ini artinya
mereka udah jadian? Bagaimana dengan Putri? Apakah Deni dan Putri sudah putus?
Ataukah memang Deni dan Putri sebenarnya tidak berpacaran seperti dugaannya
selama ini?
Begitu banyak
pertanyaan yang ada di benaknya sehingga membuatnya lelah dan akhirnya tertidur
dan membawa serta semua pertanyaan tersebut dalam mimpinya.
Keesokan paginya,
Marlinda tiba lebih awal dari biasanya. Hatinya sudah bertekad pagi ini akan
menegur Putri duluan. Capek juga kalau lama-lama bermusuhan. Mereka terlihat
jadi asing satu sama lainnya. Permusuhan mereka membawa suasana kelas jadi
murung. Tidak terdengar lagi canda dan tawa dari keduanya.
Tiba di depan
pintu kelas, Marlinda terkejut melihat Putri sudah hadir duluan. Sahabatnya itu
terlihat termenung sambil menopangkan tangan di dagu. Hmm,… kasihan Putri,
pasti sedang memikirkan Deni, gumamnya dalam hati.
Dengan langkah
ragu di dekatinya tempat duduk Putri.
“Put,…” tegurnya
dengan suara pelan.
Putri terkejut
lantas mendongakkan kepalanya. Dirinya tak yakin kalau Marlinda barusan
menyebut namanya. Matanya mendelik menatap Marlinda seperti melihat hantu di
siang bolong.
“Kok kaget gitu
sih ngeliat aku?” tegur Marlinda
lagi.
“Oh,…aku…aku
kaget saja, soalnya tadi aku sedang melamun,” jawab Putri terbata-bata.
“Maafin aku ya,”
Marlinda mengulurkan tangannya. “Aku ingin kita baikan seperti dulu lagi,”
lanjutnya.
Putri berdiri
dari duduknya. Tangan Marlinda ditepisnya, sebagai gantinya dia lantas memeluk
erat sahabatnya itu. Matanya berkaca-kaca. Rasanya tak percaya kalau sahabatnya
itu sudah kembali.
“Maafin aku juga
ya,” ucap Putri sambil melepaskan pelukannya.
“Iya, kita
sahabatan lagi ya seperti dulu,” Marlinda berkata sambil tersenyum.
“Tentu saja,
tidak ada untungnya kita bermusuhan, yang ada kita sudah merugikan diri sendiri
dan teman-teman kita yang lain,” ucap Putri lagi.
“Nanti sore kita
langsung mengerjakan proyek Prakarya di rumahnya Intan ya?” ujar Marlinda
bersemangat.
“Tentu, kita
harus dapat nilai tertinggi,” ucap Putri tak mau kalah. Marlinda tersenyum
mendengar jawaban Putri, lantas ditariknya lengan sahabatnya itu untuk duduk di
sampingnya. Rasanya sudah bertahun-tahun tidak mengobrol dengan Putri, padahal
baru tiga minggu mereka tidak saling bertegur sapa.
“Eh, Put, kamu
sudah putus ya dengan Deni?” akhirnya keluar juga pertanyaan yang sedari tadi
ditahannya.
Wajah Putri
langsung terlihat muram, senyum seketika hilang dari wajahnya yang manis.
Perlahan dia menggelengkan kepalanya.
“Aku gak putus
kok dengan Deni, Lin…,” ucapnya perlahan.
“Loh, aku lihat
status Deni di facebook dia udah jadian dengan Shinta anak kelas 8A?” sahut
Marlinda dengan ekspresi bingung.
Putri tersenyum
pahit, lantas melemparkan pandangannya keluar kelas.
“Aku tidak putus
dengan Deni karena memang kami tidak pernah jadian alias kami tidak
berpacaran,” jelas Putri sambil tertunduk.
Marlinda kaget
mendengar jawaban Putri.
“Jadi selama ini
kalian bukannya berpacaran?” tanyanya penasaran.
Putri
menggelengkan kepalanya.
“Aku saja yang ke
ge-er an selama ini, Lin. Aku
berfikir dia suka sama aku karena sering mengajak aku jalan, sehingga aku
sering meninggalkan kamu. Ternyata dia cuma menganggap aku teman, gak lebih
dari itu,” ucap Putri dengan nada sedih.
“Hmm,… ya
sudahlah kamu jangan sedih lagi ya, lupakan saja dia, toh masih banyak hal-hal
penting lainnya yang harus kita pikirkan. Dari pada mikirin cowok, lebih baik
kita mikirin pelajaran apalagi sebentar lagi kita mau ulangan umum,” sahut
Marlinda berusaha menghibur Putri.
“Betul yang kamu
katakan, Lin. Gara-gara cowok persahabatan kita sempat rusak. Gara-gara cowok
pula nilai pelajaran kita jadi hancur,” lanjut Putri lagi.
“Makanya dari
sini ke depan, kita tidak usah dulu deh mikirin cowok ya, yang ada bikin sakit
hati. Kita fokus aja ke pelajaran sekolah, lagian umur kita belum pantas deh
kayaknya,” ujar Marlinda sambil tersenyum geli.
“Iya Put, jangan
sampai persahabatan kita rusak hanya gara-gara seorang cowok ya,” ujar Putri.
Marlinda
menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Putri barusan. Teman-teman mereka
yang lain terlihat mulai berdatangan satu persatu. Kelas jadi riuh ketika
teman-temannya melihat mereka sedang mengobrol berdua.
“Cieee,… udah
baikan ni yee. Gitu dong jangan marahan terus. Bukankah selama ini kalian
terkenal sebagai pasangan sahabat sejati. Dimana ada Putri disitu ada Marlina,”
Ferdi langsung berkomentar begitu melihat keduanya sudah duduk lagi satu meja.
Marlinda dan
Putri tersenyum mendengar ucapan Ferdi. Dalam hati mereka membenarkan kata-kata
Ferdi barusan.
“Nanti sore kita
kumpul di rumah Intan ya Fer, kita harus ngebut menyelesaikan tugas proyek
membuat perahu mainan,” ucap Marlinda.
“Setuju,” ucap
Ferdi cepat.
Marlinda dan
Putri saling berpandangan lalu tersenyum bahagia. Hati keduanya terasa begitu
lega pagi ini. Beban yang mengganjal selama ini tearasa hilang begitu saja.
Mereka baru menyadari bahwa persahabatan ternyata begitu indah dan berarti.
Dalam hati masing-masing mereka berjanji bahwa persahabatan ini tidak boleh
rusak oleh sebab apapun lagi.
Bel masuk berbunyi.
Marlinda dan Putri bersiap-siap menyambut materi pelajaran hari ini. Terlihat
senyum mewarnai wajah keduanya. Hilang sudah kedukaan dari wajah Putri. Sirna
sudah kesedihan dari wajah Marlinda. Mereka seperti baru mendapatkan kado
terindah hari ini. Yah,… memang tak ada yang bisa menandingi indahnya sebuah
persahabatan.
Selesai
No comments:
Post a Comment