Menggapai Impian
Siang itu mentari bersinar demikian terik di kota
Lhokseumawe. Teriknya terasa hingga ke
ubun-ubun. Kulangkahkan kaki menyusuri pertokoan di pusat
kota mencari kebutuhan anak-anak untuk
tahun pelajaran baru. Tiba-tiba mataku terpaku menatap sesosok tubuh kurus
tinggi yang sangat kukenal sedang menawarkan dagangannya kepada orang-orang
yang berlalu lalang. Penasaran aku
mendekatinya sekedar memastikan apakah benar dia orang yang kuduga. Dia
tersenyum dan menyapaku lebih dulu.
“Ibu,…belanja bu?”, tegurnya sambil
menyalamiku. Aku mengangguk dan balas menyapanya.
”Wah…dagang
disini ya kamu?”. Dia tersenyum dan mengangguk.
” Iya bu, saya
jualan sekarang.”
“Kamu tidak melanjutkan sekolah ?” tanyaku.
“Enggak bu, tidak ada biaya,” sahutnya
sedih.
Aku termangu
mendengar jawabannya. Jawaban yang sangat sering kudengar dari para mantan
siswaku yang tidak melanjutkan sekolah. Ada pearasaan sedih, kecewa, marah dan
sebagainya bercampur aduk dalam dada. Mengapa orangtuanya tidak berusaha sekuat
tenaga untuk menyekolahkan anaknya? Mengapa mereka terlalu pasrah pada nasib?
Mengapa tidak ada usaha sedikitpun untuk berjuang melanjutkan sekolah anaknya?
Mengapa dan mengapa terus menggelayuti pikiranku. Kebanyakan mereka yang tidak
melanjutkan sekolah lagi bukanlah anak-anak yang tidak berprestasi. Malah sering kutemui mantan siswaku yang dulunya
tergolong berprestasi tapi ternyata tidak melanjutkan sekolah lagi. Hal ini sunggguh
sangat mengecewakanku sebagai seorang guru.
“Apakah kamu
masih ada niat untuk melanjutkan sekolah lagi, Arif?” tanyaku lebih lanjut.
“Masih bu,” jawabnya
jujur. Kemudian dia terlihat sibuk
mengatur dagangannya dan melayani pembeli yang datang sehingga aku terpaksa
menyingkir untuk memudahkannya melakukan pekerjaannya. Selintas memang terlihat
sikapnya agak jengah ketika kutanya perihal keadaannya yang tidak melanjutkan
sekolah lagi.
“Okelah ibu pamit
ya, mau belanja keperluan yang lain. Bila ada waktu main-mainlah kerumah,”
ujarku.
“Baik bu.
Terimakasih,” sahutnya pelan.
Setibanya di
rumah kuletakkan barang-barang belanjaan begitu saja di atas meja di ruang
tengah. Aku segera merebahkan diri di atas tempat tidur. Kepalaku terasa agak
sedikit pusing mungkin karena cuaca yang sangat panas pada saat belanja tadi.
Sambil memijit-mijit
dahi dengan ibu jari aku teringat kembali pertemuan dengan Arif, mantan muridku
yang yang kini menjadi pedagang
barang-barang kebutuhan untuk tahun ajaran baru. Apakah dia tidak sedih melihat
dagangannya yang terdiri dari buku-buku tulis, pena, pensil dan lan-lain yang
nantinya akan digunakan oleh para pelajar untuk belajar di sekolah? Apakah
tidak terbetik sebuah keinginan dihatinya untuk menggunakan semua keperluan
sekolah itu bagi dirinya sendiri? Aku tidak tahu isi hatinya. Aku tidak bisa menebak
apakah dia benar-benar merasa sedih tidak bisa melanjutkan sekolah ataukah
justru merasa senang karena terbebas dari rutinitas sekolah yang bagi
sebahagian siswa terasa begitu
menjemukan. Aku ingin tahu jawabannya. Pertemuan singkat di pasar tadi tidak
bisa menjawab berbagai pertanyaan yang menggelayuti pikiranku. Aku bertekad
untuk menjumpainya dua atau tiga hari mendatang. Mudah-mudahan aku segera
menemukan jawabannya.
*******
Pagi ini aku
terburu-buru berangkat ke sekolah. Seperti biasanya sebelum memulai tugas
mengajar aku memantau keadaan kelasku terlebih dahulu berhubung aku diberikan
tugas tambahan sebagai wali kelas oleh kepala sekolah.
Ketika aku baru
saja tiba di ruang kelas VIII-A, tiba-tiba aku teringat bahwa aku lupa membawa handphoneku yang sedang di charge di ruang makan
tadi. Buru-buru aku berbalik arah bermaksud untuk pulang ke rumah mengambil handphone yang tertinggal. Jarak antara
rumah dengan tempat tugasku memang terhitung dekat, hanya sekitar 5 menit
berjalan kaki. Ketika akan melewati
pintu gerbang sekolah, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat di depanku.
Seorang siswa turun dari boncengan, lalu menyalami si pengendara motor.
Seketika aku tersentak kaget ketika melihat wajah si pengendara motor, ternyata
Arif mantan siswaku yang kutemui sedang berjualan buku di pasar kota seminggu
yang lalu. Arif terlihat berusaha untuk menghindar tapi karena sudah terlanjur
mata kami bertatapan akhirnya dia tidak jadi memutar arah motornya.
“Assalamu’alaikum,
bu,” tegurnya.
“Wa’alaikumsalam,”
sahutku. “Kebetulan sekali kita berjumpa disini, Rif. Ibu baru tahu kalau Dinda adalah adik kamu. Apakah
setiap hari kamu yang mengantarkannya ke sekolah?” tanyaku.
“Iya bu,”
sahutnya malu-malu.
“Wah, kalau boleh
ibu mau minta tolong kamu mengantarkan ibu sebentar pulang ke rumah. Handphone ibu ketinggalan di rumah, ibu
khawatir nanti ada telepon penting yang masuk,” ucapku sebelum Arif sempat
mengucapkan kata pamit.
“Oh boleh, bu,”
sahutnya lagi.
Segera aku duduk
di belakang Arif. Aku tak perlu memberitahukan arah rumahku kepadanya karena
rata-rata siswa di sekolahku tahu dimana letak rumahku.
“Kamu tunggu
sebentar disini ya Rif, ibu masuk dulu ke dalam.” Tanpa menunggu jawabannya aku
segera masuk ke dalam rumah. Setelah menemukan benda yang aku cari, akupun
segera bergegas keluar. Namun alangkah kagetnya aku ketika kulihat Arif dan
motornya sudah raib dari penglihatan.
“Hmm,…dasar si
Arif belum berubah, tidak punya sopan santun. Masa pergi begitu saja tanpa
pamitan,” gerutuku dalam hati. Terpaksa aku berjalan kaki ke sekolah. Beruntung
bel belum berbunyi sehingga aku tidak terlambat. Alangkah malunya bila seorang
guru terlambat tiba di sekolah apalagi jarak dari sekolah ke rumahku begitu
dekat.
Ketika lonceng
istirahat berbunyi, aku mencari Dinda di kelasnya. Kuutarakan maksudku bahwa
aku ingin bertandang ke rumahnya sepulang sekolah nanti. Dinda terlihat tak
percaya. Dia memandangku dengan tatapan aneh.
“Ibu mau main ke
rumah saya?” tanyanya dengan mimik wajah heran.
“Iya. Memangnya gak boleh?” aku balik bertanya. Dinda
tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku sambil mengunyah sisa
pisang goreng di tangannya.
“Pokoknya nanti
kamu tunggu ibu pulang sekolah ya?” ucapku lagi sambil menyentuh bahunya. Dinda
hanya menganggukkan kepalanya.
Bubar sekolah
kutunggu Dinda di depan kantor dewan guru. Biasanya siswa sering melintas di
depan kantor ini bila hendak pulang. Lama kutunggu namun Dinda belum
menampakkan batang hidungnya. Tak ingin lebih lama lagi menunggu aku bergegas
berjalan kearah kelas Dinda untuk memastikan keberadaannya.
Kelas tersebut
terlihat sudah kosong ketika aku melongokkan kepala kedalamnya. Ah…mustahil aku
tidak melihat Dinda lewat di depan kantor guru tadi, bisikku dalam hati. Iseng
aku memutar langkah melintasi belakang kelasnya. Betapa terperanjatnya aku
melihat Dinda sedang menunduk mengutip sampah plastik bekas air mineral yang
banyak berserakan di tanah. Reflek aku bersembunyi di balik dinding kelas
supaya Dinda tidak melihatku. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku melihat apa
yang sedang dia kerjakan saat itu.
Perlahan-lahan
aku mundur dan berjalan kembali kearah kantor dewan guru. Hatiku bertanya-tanya
untuk apa Dinda mengutip sampah plastik tersebut. Apakah Dinda seorang pemulung?
Apakah pekerjaan tersebut dilakukannya dengan suka rela atau ada yang memaksa.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Kubatalkan niatku pergi ke
rumahnya siang ini.
Keesokan harinya
aku berangkat ke sekolah lebih cepat dari hari biasanya. Segera aku mencari
Dinda di kelasnya. Kulihat Dinda dan beberapa orang temannya sedang menyapu
lantai.
“Dinda, selesai
menyapu tolong jumpai ibu sebentar di kantor ya,” ucapku.
“Baik, bu,”
jawabnya.
Tak lama kemudian
Dinda datang menjumpaiku di kantor. Kuperhatikan wajahnya terlihat pucat.
Pakaian seragam putih yang dikenakannya pun terlihat kusam. Sepatu hitamnya
robek di bagian depan. Sungguh memelas penampilan anak ini, bisikku dalam hati.
“Duduk disini,
Dinda,” kataku memecah keheningan.
Dinda duduk di
depanku tanpa suara. Aku kembali memperhatikan wajahnya. Selama ini aku sama
sekali tidak tahu kalau Dinda adalah adik Arif. Wajah mereka tidak terlalu
mirip, Dinda berkulit kuning langsat sedangkan Arif berkulit agak sedikit
hitam.
“Kamu sudah
sarapan?” tanyaku.
“Belum, bu,”
jawabnya jujur.
“Kebetulan ibu
bawa bekal sarapan dari rumah. Kita sarapan sama-sama yuk,” ajakku.
“Tidak usah bu,
terimakasih,” Dinda menolak ajakanku dengan halus.
“Ayolah, tidak
usah malu-malu,” ajakku lagi.
Kusodorkan kotak
berisi roti isi kehadapannya. Dinda terlihat ragu, namun perlahan diraihnya
juga sepotong roti yang kutawarkan. Lonceng masuk tiba-tiba berbunyi membuat
Dinda terkejut dan meletakkan kembali roti isi yang sudah berada di tangannya.
“Tidak apa-apa,
Dinda. Makan saja dulu, ibu akan minta ijin dengan guru yang masuk di jam
pertama di kelas kamu.”
Bergegas kujumpai
bu Murni yang akan mengajar jam pertama di kelas Dinda. Setelah memperoleh ijin
aku segera kembali menemui Dinda di ruanganku.
“Ayo, Dinda.
Ambil lagi rotinya.”
“Terimakasih, bu.
Saya sudah kenyang,” sahutnya.
Kusodorkan
segelas air mineral untuk diminum. Aku
tahu Dinda masih lapar, tapi aku juga maklum kalau Dinda merasa malu mengambil roti lagi.
“Ibu sudah minta
ijin pada bu Murni bahwa kamu tidak bisa masuk pada jam beliau. Jadi kamu
tenang saja ya, kita bisa berbincang-bincang sebentar disini,” jelasku pada
Dinda. Dia hanya mengangguk mengiyakan.
“Oh iya Din.
Kemarin sepulang sekolah kamu kok tidak menemui ibu, kan kita sudah janjian mau
kerumah kamu?” tanyaku sejurus kemudian. Dinda tidak menjawab pertanyaanku. Dia
hanya tertunduk menatap pinggiran meja dihadapannya.
“Dinda?”
panggilku.
Dinda mengangkat
kepalanya lalu menjawab dengan lirih.
“Saya kemarin
pulang sekolahnya agak telat, bu, ada sesuatu yang harus saya kerjakan,”
sahutnya perlahan.
“Memangnya kamu
mengerjakan apa kemarin?” selidikku.
“Saya mengerjakan
pekerjaan rumah yang diberikan bu Santi, bu,” jawabnya tanpa melihat ke arahku.
“Wah kamu memang
anak yang rajin, begitu diberikan PR langsung mengerjakannya,” pujiku. Dinda
kelihatan salah tingkah mendengar pujianku.
“Memangnya bu
Santi kalau ngasih PR banyak-banyak
ya sehingga kamu khawatir tidak sempat mengerjakannya di rumah? Berapa butir PR
matematika yang diberikan bu Santi kalau ibu boleh tahu?” lanjutku membuat
Dinda semakin salah tingkah.
“Mmm…,” Dinda
terlihat bingung menjawab pertanyaanku.
“Ntar ibu bisa
kasih tahu ke bu Santi lho agar beliau jangan banyak-banyak bila memberikan PR
kepada siswa,” kataku semakin membuat Dinda kebingungan.
“Ja…jangan bu,
jangan bilang seperti itu kepada bu Santi,” Dinda berkata dengan cepat.
“Lho memangnya
kenapa? Kamu gak usah khawatir. Kami sesama guru biasa saling mengingatkan dan
tidak ada yang pernah tersinggung karena tujuan kami adalah untuk kemajuan anak
didik kami semua,” jelasku panjang lebar meskipun aku tahu Dinda tidak memahami
apa yang barusan kukatakan. Aku hanya berusaha agar Dinda menjelaskan apa yang
dilakukannya kemarin dengan jujur, tanpa terkesan aku memojokkannya.
“Kemarin kan rencananya
ibu mau pergi ke rumah kamu, tapi karena lama ibu tunggu kamu tidak
muncul-muncul ya udah ibu langsung
pulang saja. Padahal sebenarnya ibu ada tugas penting yang harus dikerjakan,
tapi karena udah janji dengan kamu terpaksa ibu tunda,” jelasku tanpa diminta.
Dinda melihatku
dengan tatapan yang aneh. Dia lantas menunduk tidak berani melihat wajahku.
“Saya minta maaf
bu,” ucap Dinda.
“Lho kok minta
maaf? Memangnya Dinda salah apa?” tanyaku.
“Iya bu,
sebenarnya kemarin saya bukan membuat PR di kelas, tapi saya mengutip sampah
plastik bekas air mineral di belakang kelas,” sahutnya lirih nyaris tak
terdengar.
“Oya?” sahutku
pura-pura kaget.
“Untuk apa
sampah-sampah plastik itu?” tanyaku.
“Saya kumpulkan
untuk dijual ke tempat pengumpulan barang bekas, bu,” Dinda menjawab semakin
pelan.
“Keluarga kamu
tahu apa yang kamu lakukan?” tanyaku lagi. Dinda menganggukkan kepalanya.
“Benar mereka
tahu yang kamu lakukan, Dinda?” ulangku. Dinda tidak menyahut. Dia terlihat
hanya menundukkan kepala.
“Ayo jawab pertanyaan
ibu,” desakku.
“Orang di rumah
tidak ada yang tahu apa yang saya lakukan bu,” jawabnya lirih. Akhirnya keluar
juga pengakuan itu dari mulutnya.
“Saya hanya ingin
mencari sedikit uang lebih untuk jajan, bu,” lanjut Dinda setelah terdiam
beberapa saat.
“Memangnya selama
ini tidak ada yang memberi kamu jajan?” selidikku lagi.
Dinda
menggelengkan kepalanya.
“Bang Arif?
Bukankah dia selama ini bekerja dengan berdagang peralatan sekolah di pasar?”
tanyaku lagi.
“Pendapatan bang
Arif hanya cukup untuk makan kami sehari-hari ditambah pengobatan ayah,” Dinda
menyahut pelan.
Aku menarik nafas
perlahan. Ternyata begitu banyak yang belum aku ketahui tentang siswaku.
Mungkin ini baru sebahagian kecil tentang kehidupan siswa yang baru aku
ketahui. Masih banyak permasalahan-permasalahan lain yang dihadapi oleh siswaku
yang mungkin lebih berat dari ini.
“Kalau kamu tidak
keberatan siang ini sepulang sekolah ibu ingin pergi ke rumah kamu. Ibu harap
pulang sekolah nanti kamu tidak usah mengutip plastik bekas air mineral dulu,
nanti ibu akan berikan uang jajan untuk besok ya?” pintaku pada Dinda. Dinda
hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan.
“Janji ya Dinda?
Ibu tunggu kamu nanti pulang sekolah,” tegasku lagi. Dinda kembali
menganggukkan kepalanya lantas pamit keluar mengikuti pelajaran yang sempat
tertunda.
Ketika lonceng
pulang berbunyi aku berdiri di depan kantor guru menunggu Dinda. Tak lama Dinda
terlihat berjalan ke arah tempatku berdiri. Sambil tersenyum aku melambaikan
tangan mengajaknya mendekat.
“Kita pulang ke
rumah kamu ya sekarang Din,” tegurku. Dinda hanya menganggukkan kepalanya.
“Ibu sengaja bawa
motor hari ini karena mau pergi ke rumah kamu,” lanjutku lagi.
Setelah
kupastikan Dinda aman duduk di belakangku, motor kujalankan perlahan. Dinda
menjadi penunjuk jalan kearah rumahnya. Sekitar 10 menit kemudian kamipun tiba
di rumahnya.
Hatiku tercekat
melihat kondisi rumahnya. Rumah ini tidak layak huni, sungguh sangat
memprihatinkan kondisinya. Lantainya hanya beralaskan tanah yang sudah mengeras
dan ditutupi selembar karpet yang terlihat koyak di sana sini. Atap rumahnya
dari pelepah daun rumbia. Dinding rumah terbuat dari tepas atau kulit bambu dan banyak yang sudah rusak. Begitu memasuki rumahnya
langsung tercium aroma kurang sedap, mungkin hal ini disebabkan karena
banyaknya barang-barang yang berserakan di dalam rumah, ditambah lagi aroma
lembab dari lantai tanah tersebut.
Tiba-tiba mataku
terpaku melihat sesosok laki-laki yang terbaring di atas ranjang usang di sudut
ruang depan. Seorang laki-laki tua tidur diatas ranjang itu berselimutkan kain
lusuh.
“Itu ayah kamu,
Din?” tanyaku padanya. Dinda mengangguk mengiyakan. Tiba-tiba laki-laki tua itu
terbangun, mungkin mendengar kedatangan kami.
“Dindaa… kamu
sudah pulang sekolah?” laki-laki tersebut berusaha bangkit dari tidurnya. Dinda
segera datang menghampiri.
“Iya pak, saya
sudah pulang,” jawabnya sambil membantu ayahnya duduk dan membetulkan letak
selimut yang hampir jatuh melorot ke lantai. Laki-laki tua itu belum menyadari
kehadiranku di rumahnya.
“Pak, saya pulang
bersama bu guru,”
ucap Dinda lirih. Ayah Dinda nampak terkejut sambil menoleh kearahku yang
berdiri terpaku berjarak sekitar 3 meter dari tempatnya berbaring. Buru-buru
aku berjalan kearahnya.
“Assalamualaikum
pak,” tegurku sambil menjulurkan tangan mengajak bersalaman.
“Waalaikumsalam,”
sahut laki-laki tersebut.
“Saya gurunya
Dinda, pak, ingin menjenguk bapak yang kabarnya sedang sakit,” kataku mencari
alasan. Laki-laki tua tersebut kelihatan bingung lalu menoleh ke arah Dinda.
Dinda mengangguk mengiyakan ucapanku tadi.
“Selain itu saya
juga ingin bertemu dengan Arif pak,” timpalku lagi. “Sekitar seminggu yang lalu
saya bertemu dengannya di pasar kota. Dia sedang berdagang alat tulis sekolah.
Sewaktu saya bertanya apakah dia menyambung sekolah dia menjawab tidak, makanya
saya kemari ingin bertemu dengannya. Siapa tahu nanti dia mau sekolah lagi
setelah mendengar saran dari saya,” ucapku panjang lebar. Ayah Dinda hanya
manggut-manggut mendengar penjelasanku.
“Sudah dua tahun
belakangan ini saya menderita sakit, bu,” ucapnya sambil terbatuk-batuk. “Saya
tidak bisa mencari rezeki sehingga Arif terpaksa menggantikan tugas saya
mencari uang untuk membiayai kebutuhan kami sehari-hari ditambah lagi dengan
biaya pengobatan saya, “ lanjutnya lagi sambil kembali terbatuk-batuk.
“Memangnya bapak
sakit apa, pak?” tanyaku prihatin.
“Kata dokter saya
menderita radang paru-paru,” jawabnya terbata-bata sambil memegangi dadanya.
Tentu nyeri sekali, bisikku dalam hati.
“Saya hanya bisa
berbaring seperti ini setiap hari,” lanjutnya lagi. “Arif yang keluar mencari
uang, sedangkan Dinda mengerjakan semua pekerjaan rumah sebelum dan sepulang
sekolah. Seandainya ibunya masih hidup, tentu Dinda tidak perlu mengerjakan
semua pekerjaan itu sendirian.” Kembali terdengar suara batuk diujung ucapannya.
Hatiku terasa
mencelos mendengar penuturan ayah Dinda. Dinda dengan usianya yang masih sangat
belia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga selayaknya seorang wanita
dewasa. Pantaslah penampilannya begitu menyedihkan. Semua keperluan sekolahnya
dia urus sendiri. Sering aku mendapati baju seragamnya kusut tidak disetrika.
Pasti dia tidak sempat menyetrikanya karena begitu banyaknya pekerjaan rumah
tangga yang harus dia selesaikan ditambah lagi harus menyelesaikan tugas-tugas
sekolah. Aku menyesal mengapa selama ini kurang peka terhadap problema yang
dihadapi para siswaku. Bila siswaku tidak mengerjakan tugas yang kuberikan, tak
jarang aku memberinya hukuman tanpa bertanya terlebih dahulu apa penyebabnya.
Sekarang aku baru sadar setelah melihat kehidupan Dinda. Tentu lebih banyak
lagi siswaku yang bernasib sama bahkan mungkin lebih parah dari Dinda. Aku
menghela nafas yang tiba-tiba terasa sesak.
Suara ketukan di
pintu diiringi ucapan salam menyentakkan lamunanku. Terlihat sesosok tubuh
jangkung berdiri di ambang pintu. Arif terkejut melihat kehadiranku di
rumahnya. Setelah menyalamiku dia langsung menghilang ke dalam kamar. Aku dan
Dinda saling berpandangan. Aku merasa Arif tidak senang melihat kedatanganku,
tapi aku terlanjur sudah berada di sini dan rencanaku harus berhasil.
Kusuruh Dinda
mengatur buah jeruk yang sengaja kubawa tadi ke dalam piring plastik yang ada
di dekat ranjang. Dengan bahasa isyarat ku suruh Dinda memanggil Arif ke dalam
kamar. Tak lama kemudian Arif pun muncul dengan wajah agak cemberut.
“Sini Rif,”
panggilku. “Tolong kupaskan jeruk satu untuk ayahmu, mungkin beliau ingin
memakannya,” dalihku supaya aku punya kesempatan untuk berbincang dengannya.
Dengan gerak malas-malasan Arif mengupaskan
jeruk untuk ayahnya lalu menyuapinya ke mulut sang ayah.
“Saya ke dapur
dulu ya bu, mau memasak nasi,” ucap Dinda seraya berjalan ke arah dapur. Aku
hanya menganggukkan kepala. Setelah Arif selesai menyuapkan jeruk untuk
ayahnya, aku pun berdiri hendak pamit pulang.
“Saya pamit dulu,
pak,” ucapku.
“Ya bu,
terimakasih atas kunjungannya. Maaf kami tidak bisa menyuguhkan apa-apa,”
sahutnya nyaris tak terdengar. Lantas laki-laki tua itu kembali terbatuk-batuk.
“Ibu pulang dulu
ya Rif, tapi sebelum pulang ibu ingin berbicara dulu dengan kamu sebentar,”
ucapku pada Arif seraya berjalan ke arah pintu depan. Arif berjalan mengikutiku.
Sesampainya di luar aku duduk diatas kursi rotan panjang yang ada di situ.
“Sini Rif, duduk
di sebelah ibu,” ujarku. Lagi-lagi Arif menuruti perintahku. Dia duduk di
sebelahku sambil menunduk.
“Ibu sengaja
datang ke rumah kamu ingin menemui kamu. Ibu ingin kamu melanjutkan sekolah
seperti teman-teman kamu yang lain,” akhirnya aku punya kesempatan untuk
menyampaikan maksud kedatanganku. Arif mengangkat wajahnya yang menunduk sedari
tadi. Dia menatapku dengan pandangan yang aneh.
“Kenapa kamu
menatap ibu seperti itu, Rif? Apa ada yang salah dengan ucapan ibu?” tanyaku melihat
reaksinya.
“Kamu kelihatan
tidak senang ibu menyuruh kamu melanjutkan sekolah lagi. Padahal maksud ibu
baik, demi masa depan kamu nanti. Zaman sekarang apa artinya ijazah SMP? Kalau
kamu melanjutkan sekolah, setidaknya kamu akan memiliki ijazah yang lebih
tinggi, bahkan siapa tahu nanti kamu bisa melanjutkan lagi ke tingkat yang
lebih tinggi, kuliah misalnya,” jelasku panjang lebar.
Kulihat ada
senyuman sinis tersungging di sudut bibirnya. Arif menolehkan wajahnya ke
samping, seakan tidak memperdulikan ucapanku.
“Rif, “ kusentuh
lengannya. Dia menoleh kearahku. Dari binar matanya bisa kulihat ada rasa
kecewa, sedih bercampur kesal.
“Ibu tahu
sebenarnya kamu sangat ingin melanjutkan sekolah. Ibu kenal siapa kamu. Kamu
bukan siswa yang malas. Kamu siswa yang rajin dan pintar. Kamu selalu masuk
rangking lima besar di kelas,” ucapku sambil menatap matanya.
Arif terpana
mendengar kata-kataku, matanya mulai berkaca-kaca. Nampaknya dia mulai
tersentuh dengan kata-kataku.
“Tapi saya tidak
punya biaya, bu. Untuk makan sehari-hari saja susah apalagi untuk biaya masuk
sekolah. Saya harus bekerja untuk membiayai kehidupan kami. Saya juga harus
membiayai sekolah Dinda, saya tidak mau dia putus sekolah seperti saya,” Arif
berkata setengah berbisik.
“Bagus kalau kamu
punya pemikiran seperti itu. Tapi kamu juga harus memikirkan masa depanmu selain
masa depan Dinda. Kamu juga harus bersekolah seperti Dinda,” ucapku.
“Tapi siapa yang
akan mencari uang kalau saya tidak bekerja, bu? Siapa yang akan membiayai
sekolah Dinda dan makan kami sehari-hari?” Alif berkata dengan gusar.
“Itulah yang ingin
ibu rembukkan dengan kamu, Rif,” ucapku dengan sabar.
“Ibu ingin kamu melanjutkan sekolah sambil
bekerja, kamu tetap bisa mencari uang dan sekolah juga jalan,” lanjutku lagi.
Arif menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Tidak mungkin,
bu. Saya harus berjualan dari pagi hingga petang. Barang-barang dagangan itu
bukan milik saya, tapi milik orang lain yang saya jual lagi. Saya juga
dipinjami motor agar saya mudah mengangkut barang dagangan saya. Saya berjualan
dari pagi sampai sore, mana bisa saya bersekolah,” Arif berkata dengan nada
putus asa.
“Ibu akan
memberikan jalan supaya semua bisa berjalan dengan baik. Apa kamu mau mendengar
saran dari ibu?” tanyaku. Arif terlihat berfikir sejenak, lalu perlahan menganggukkan kepalanya.
“Begini, ibu
punya toko pakaian anak-anak di pasar kota. Ibu sudah punya 2 orang pegawai
untuk menjaga toko tapi salah seorang dari mereka hanya bisa menjaga toko
sampai siang hari. Nah bagaimana kalau kamu menjaga toko sepulang dari sekolah
sekalian tidur di toko itu. Penjaga toko yang lama sudah berhenti karena orang
tuanya meninggal di kampung. Kamu bisa tinggal di toko dan pagi-pagi kamu bisa
pulang ke rumah, kamu boleh menggunakan motor yang biasa dipakai karyawan ibu
yang lama,” ucapku panjang lebar.
Arif kelihatan
tertarik dengan tawaranku, hal itu bisa dilihat dari bahasa tubuhnya yang mulai
duduk tegak dan dengan antusias mendengar ucapanku.
“Bagaimana, Rif?
Kamu mau?” tanyaku.
“Bagaimana dengan
biaya masuk sekolah bu? Saya juga belum punya seragam apapun. Pendaftaran juga
sudah lama tutup, sekolah sudah aktif sejak sebulan yang lalu. Apakah saya
masih bisa diterima?” Arif terlihat mulai ragu.
“Kalau masalah
itu kamu tidak perlu khawatir, ibu sudah hubungi kepala sekolahnya, kebetulan
teman baik ibu. Ibu sudah ceritakan pada beliau dan beliau bisa memaklumi
kesulitan kamu. Kamu tidak usah memikirkan masalah biaya pendaftaran, semua digratiskan untuk
kamu. Pakaian seragam akan ibu usahakan untuk kamu walau baru sepasang yang
penting kamu sudah bisa sekolah. Demikian juga dengan peralatan sekolah, semua
sudah ada berkat sumbangan dari dewan guru SMP P
elita Hati.
Sekarang yang paling penting dari semua itu adalah apakah kamu berniat untuk
melanjutkan sekolah?” aku mengakhiri kalimat panjangku dengan sebuah
pertanyaan.
Wajah Arif
terlihat berseri-seri, sangat berbeda dengan keadaan sewaktu dia baru tiba di
rumah beberapa saat yang lalu.
“Saya bersedia
melanjutkan sekolah lagi, bu,” akhirnya ucapan yang sangat kuinginkan itu
keluar juga dari mulutnya.
“Ibu senang
sekali mendengarnya, Rif. Mulai besok kamu sudah bisa siap-siap ya. Jangan lupa
kamu pamit sama orang yang sudah memberikan kamu pekerjaan berjualan selama
ini,” ucapku pada Arif.
“Iya, bu,”
sahutnya bersemangat.
“Baiklah kalau
begitu, ibu pamit dulu ya. Besok ibu tunggu kamu di sekolah ibu, kita pergi
sama-sama menemui bapak kepala sekolah SMK Perjuangan, oke?” ujarku lagi.
“Terimakasih banyak,
bu. Ibu sudah begitu baik kepada saya,” ucapnya tersendat.
“Berterimakasihlah
kepada Allah, karena beliaulah yang membuka pintu hati para guru untuk membantu
kamu, ibu hanya membuka jalan saja,” tukasku merendah.
“Ya bu, besok
saya akan ke sekolah menyampaikan rasa terimakasih sekaligus mengambil ijazah dan raport,” pukasnya.
“Oke, ibu tunggu.
Ibu pulang ya, assalamualaikum,” pamitku.
“Wa’alaikumsalam,”
sahutnya.
Aku melangkah
menuju motor yang diparkir di halaman rumahnya. Lega rasanya hatiku. Rasa sedih
yang selama seminggu lebih menggayuti hati telah sirna. Selalu ada harapan di
akhir sebuah usaha. Harapan indah akan hadirnya sebuah masa depan baru, merubah
kepahitan menjadi kebahagiaan. Semoga terwujud…
Selesai
No comments:
Post a Comment