Gara-gara Permen
Jam
masuk selesai istirahat baru saja berbunyi. Para siswa berlarian masuk ke
kelasnya masing-masing, demikian juga dengan siswa kelas 9B. Hamid terlihat
santai menghabiskan potongan terakhir bakwan ke dalam mulutnya lantas meminum
es sirupnya yang tinggal setengah gelas lagi.
“Kamu
kok tidak segera masuk ke kelas, Mid?” tanya bu Lisma penjaga kantin sekolah.
“Malas
ah buru-buru, aku mau masuk telat saja,” jawab Hamid dengan santainya.
“Eh,
tidak boleh seperti itu, Mid. Nanti kamu dimarahi guru lho. Siapa yang masuk
kelas kamu sekarang ?” Tanya bu Lisma lagi.
“Bu
Suharni, guru IPS”, jawab Hamid malas-malasan. Diteguknya es sirup terakhir
lantas segera meninggalkan kantin.
Bu
Suharrni sedang menanyakan tugas rumah
yang diberikannya minggu lalu ketika Hamid memasuki kelas. Tanpa mengucapkan
salam Hamid masuk lantas segera duduk di sebelah Farhan.
“Hamid,”
tegur bu Suharni. Kalau mau masuk harus mengucapkan salam dulu. Sekarang kamu
keluar, ketuk pintunya lalu ucapkan salam, perintah bu Suharni tak
terbantahkan. Dengan gayanya yang malas-malasan Hamid terpaksa keluar lantas
masuk kembali seraya mengucapkan salam. “Nah, itu baru anak yang baik yang tahu
sopan santun, kata bu Suharni.
“Anak-anak,
siapa yang tidak hadir hari ini?” bu Suharni bertanya dengan suara nyaring.
“Siska
dan Yulia bu,” jawab Riska sekretaris kelas 9B.
“Hmm,…kemana
mereka Riska?” Tanya bu Suharni lagi.
“Tidak
tahu bu, sepertinya tidak ada pemberitahuan dari piket bu,” jawab Riska lagi.
“Baiklah,
sekarang kita mulai pelajaran kita yang baru ya,” lanjut bu Suharni. “
Sebelumnya ibu mau bertanya dulu, siapa yang sudah pernah pergi ke Jakarta?
Tahukah kalian Jakarta itu terletak di pulau mana di Indonesia?
Kelas
hening tidak ada siswa yang menjawab. Bu Suharni lantas berdiri sambil
mengambil spidol dan selembar peta.
“Baiklah,
ibu akan memperlihatkan peta Indonesia kepada kalian,” bu Suharni lantas
berbalik membelakangi siswa sambil membawa peta dan double tips untuk
meletakkan peta tersebut di papan tulis. Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari
beberapa siswa yang sedang melihat kearah depan, beberapa siswa yang lain
terlihat heran dengan raut wajah bertanya-tanya ada apa gerangan sehingga
teman-temannya tertawa.
Bu
Suharni segera menoleh ke belakang. Tampak beberapa siswa tertawa sambil
menutup mulut.
“Mengapa
kalian tertawa?” tanya bu Suharni dengan wajah heran.
Siswa
kelas 9B tidak ada yang menjawab. Lantas bu Suharni kembali berbalik dan melanjutkan
pekerjaannya menempelkan peta di papan tulis. Saat itulah seorang siswa yang
bernama Ayu melihat ada permen karet yang menempel di rok bagian belakang bu
Suharni. Para siswa kembali tertawa, membuat bu Suharni spontan berbalik dan
memasang wajah marah. Sebelum bu Suharni berteriak marah, Ayu segera berkata
dengan suara pelan.
“Bu,
ada permen karet di rok belakang ibu, “ katanya. Bu Suharni secara reflek
meraba rok bagian belakangnya. Seketika wajahnya bersemu merah pertanda beliau
sedang marah.
“Siapa
yang meletakkan permen karet di kursi guru, hah?” teriaknya lantang. Seisi kelas mendadak sepi. Tak ada seorangpun yang
berbicara apalagi tertawa.
“Saya
ulangi pertanyaan saya ya. Siapa yang meletakkan permen karet di kursi guru?”
bu Suharni mengulangi pertanyannya. Siswa kelas 9B kembali terdiam, tak seorang
pun yang menyahut. Dengan gemas bu Suharni membanting spidol ke atas meja.
“Baiklah,
kalau tidak ada yang mengaku hari ini kita terpaksa tidak belajar. Ayo semuanya
keluar dan berbaris di depan tiang bendera, “ bu Suharni berkata dengan suara
yang keras.
Semua
siswa kelas 9B berbaris di lapangan. Cuaca hari ini lumayan terik. Sebagian
siswa perempuan menggerutu sambil menyumpah-nyumpah terhadap si pelaku.
“Jika
tidak ada yang mengaku, maka terpaksa kalian berdiri di sini sampai bel pulang
berbunyi,” ucap bu Suharni lantas berjalan meninggalkan lapangan menuju kea rah
ruang dewan guru. Siswa kelas 9B saling berpandangan dengan raut wajah
kesal dan bertanya-tanya siapa kiranya biang kerusuhan ini. Nazar sang ketua
kelas lantas berbicara.
“Ayolah mengaku saja siapa yang meletakkan
permen karet di kursi guru. Kita semua sudah kepanasan niih.”
Ucapan
Nazar disambung gerutuan serupa oleh siswa yang lain.
“Siapa
sih yang melakukannya? Mengaku saja lah. Berani berbuat harus berani
bertanggung jawab,” terdengar suara Henni sang bendahara kelas. Siswa yang lain
mengiyakan. Namun belum ada yang bergerak untuk mengakui perbuatannya.
Hamid
hanya terpekur sambil menatap lantai semen di bawah kakinya. Bathinnya
bergejolak antara keinginan untuk mengakui perbuatannya atau mengelak dari tanggung jawab sudah
berbuat salah. Dia merasa kesal kepada bu Suharni karena selalu menegur
kesalahannya. Minggu lalu dia tertidur di kelas karena malamnya terlambat
pulang dari balai pengajian. Namun bu Suharni malah menepuk bahunya dengan
buku, membuat ia terbangun dan membuyarkan mimpi indahnya. Lantas bu Suharni
masih melanjutkan dengan omelan-omelan yang membuat panas telinganya. Lantas
tidak cukup sampai disitu, bu Suharni menyuruhnya mencatat pelajaran namun dia
lupa membawa pulpen karena semalam dipinjam ibunya mencatat barang-barang yang
akan dibeli untuk warungnya. Namun bu Suharni tidak mau menerima alasannya.
Akibatnya, Hamid harus mencatat tiga kali lipat lebih banyak dari catatan
teman-temannya. Maka hari ini, sebelum ke kantin pada jam istirahat tadi, Hamid
sengaja menempelkan permen karet yang sudah dikunyahnya ke atas kursi guru,
berharap permen tersebut menempel di rok bu Suharni. Hatinya puas namun
sekarang timbul penyesalan melihat wajah teman-temannya yang kepanasan dan
mulai berkeringat. Apalagi ketika dilihatnya wajah Mutia yang putih sudah
kemerahan terkena matahari. Dia kasihan melihatnya apalagi diam-diam dia
menyukai Mutia yang cantik dan pintar itu.
Sambil
menghela nafas, Hamid keluar dari barisan dan berjalan gontai menuju kantor
dewan guru.
“Hei
Hamid, kamu mau kemana?” tanya Nazar.
“Aku
mau bertemu bu Suharni. Aku mau mengakui perbuatanku.” Jawab Hamid perlahan.
“Huuuuuuuuhhh…kamu
ini bikin ulah saja sih,” ucap Andini kesal. “Gara-gara kamu kita semua
terpaksa dijemur disini. Mana cuacanya panas lagi,” lanjut Andini sambil
melotot ke arah Hamid. Hamid tidak memperdulikan ucapan Andini. Dia terus
melangkah meninggalkan teman-temannya.
Sesampainya
di kantor Hamid langsung menemui bu Suharni. Ketika bu Siharni melihat
kedatangan Hamid dia langsung bisa menebak bahwa Hamid lah yang meletakkan permen karet di kursi guru
tadi.
“Ada
apa, Hamid,” bu Suharni bertanya meskipun dia tahu maksud kedatangan Hamid.
“Saya
mau mengakui kesalahan saya bu. Saya yang meletakkan permen karet di kursi
guru.” Hamid berkata dengan sangat pelan namun tetap terdengar karena hanya
mereka berdua yang ada di ruangan itu.
Bu
Suharni meletakkan kacamatanya lantas dia menatap kearah Hamid yang sedang
menunduk.
“Duduklah,”
ucap bu Suharni dengan lembut. Lantas Hamid pun duduk di hadapan bu Suharni.
“Mengapa
kamu melakukan perbuatan tersebut, Hamid?” tanya bu Suharni. Hamid hanya
menunduk tidak berani menatap wajah bu Suharni.
“Saya
hanya iseng, bu” jawab Hamid perlahan.
“Hanya
iseng? Atau ada maksud lain?” selidik bu Suharni. “Ayo kamu jelaskan dengan
jujur, ibu janji tidak akan marah,” lanjut bu Suharni.
Hamid
terdiam beberapa saat. Lantas dia kembali berucap.
“Saya
kesal karena minggu lalu ibu mengomeli saya yang tertidur di kelas. Ibu juga
menyuruh saya mencatat tiga halaman penuh karena saya lupa membawa pulpen.”
Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulut Hamid.
Bu
Suharni tersenyum simpul lantas berkata,” Kamu tahu tidak mengapa ibu memarahi
kamu waktu kamu tertidur di kelas?” Hamid hanya menggeleng.
“Kamu
tahu tidak mengapa ibu menghukum kamu karena tidak membawa pulpen?” lanjut bu
Suharni. Hamid kembali menggeleng.
“Itu
semua karena ibu sayang sama Hamid. Ibu tidak mau Hamid ketinggalan pelajaran
karena tertidur di kelas. Kamu kan sudah kelas 9, tidak lama lagi akan
menghadapi ujian UASBN. Lalu ibu menghukum Hamid karena tidak bawa pulpen
supaya besok-besok Hamid jangan lupa lagi membawa pulpen. Ibu ingin supaya
Hamid lebih disiplin dalam mempersiapkan alat-alat tulis sebelum berangkat ke
sekolah. Kalau semua peralatan belajar dibawa, itu akan memudahkan Hamid dalam mengikuti pelajaran.” Jelas bu
Suharni panjang lebar.
Hamid
hanya terpekur mendengar penjelasan bu Suharni. Dalam hatinya membenarkan semua
perkataan bu Suharni.
“Baiklah,
karena kamu sudah berani mengakui perbuatan kamu, maka ibu maafkan semua
kesalahan kamu. Tapi ingat, kamu harus berjanji tidak akan mengulanginya lagi,”
bu Suharni berkata sambil tersenyum. Hamid terkejut mendengar ucapan bu
Suharni. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa bu Suharni akan memaafkan
kesalahannya dengan begitu mudah.
“Ibu
tidak marah?” Tanya Hamid dengan wajah heran.
“Tidak,”
jawab bu Suharni sambil menggeleng. Ibu tidak marah karena kamu berani datang
kemari mengakui perbuatan kamu, dan ibu yakin kamu tidak akan mengulaninya
lagi.”
“Saya
berjanji tidak akan mengulaninya lagi bu,” sahut Hamid. “Saya juga berjanji
tidak akan tidur di kelas lagi dan akan selalu membawa peralatan belajar.”
Lanjutnya.
“Baiklah,
ibu terima janji kamu. Sekarang kembali ke kelas ya, lima menit lagi ibu akan
menyusul,” ucap bu Suharni. Hamid bergegas bangkit dari kursinya, menyalami bu
Suharni lantas keluar dari kantor dewan guru dengan perasaan lega yang teramat
sangat. Dia merasa lega karena bu Suharni tidak marah padanya. Dia tidak
menyangka ternyata bu Suharni sebenarnya guru yang amat baik dan suka memaafkan
kesalahan muridnya. Dia saja yang tidak mengerti bahwa guru menegur dan marah
kepada siswanya itu karena guru tersebut peduli dan sayang terhadap siswanya.
Hamid tersenyum dan kembali ke kelasnya dengan perasaan riang. Dia berjanji
dalam hati tidak akan mengulagi lagi kesalahan serupa di waktu-waktu yang akan
datang.
SELESAI
No comments:
Post a Comment