Teman Baru
Namaku Wirda. Aku
sering dikatakan teman-teman sombong, padahal aku tidak merasa seperti itu. Aku
malas saja berbicara yang tidak penting. Aku suka ke perpustakaan sekolah
membaca buku-buku cerita, namun kata temanku aku suka menyendiri. Memang apa
enaknya membaca ramai-ramai? Kesannya jadi berisik dan ujung-ujungnya pasti aku
tidak bisa menikamati bacaanku.
Hari ini saat jam
istirahat seperti biasa aku langsung melenggang masuk ke perpustakaan. Bu Husna
penjaga perpustakaan melempar senyum manisnya ketika melihat aku masuk.
“Mau baca buku
apa hari ini, Wir?” tanyanya ramah.
“Mmmmm, saya
lihat-lihat dulu ya bu,” sahutku sambil mataku berkeliling melihat kea rah rak
buku. Kakiku langsung kulangkahkan kearah rak buku yang berada di pojok
perpustakaan. Tetapi tiba-tiba mataku terpaku ketika melihat sudah ada seseorang yang
menempati tempat yang biasa kududuki. Aku berfikir keras siapa gerangan anak
perempuan ini. Sepertinya aku tidak pernah melihatnya beredar di sekolah ini
sebelumnya, apalagi berada di perpustakaan ini.
Aku langsung
mendekati bu Husna.
“Siapa anak itu
buk?” tanyaku perlahan.
“Oh, dia anak
baru di sekolah kita. Dia masuk ke kelas 8 dua, di sebelah kelas kamu,” jawab
bu Husna menghapus kebingunganku.
“Siapa namanya
buk?” tanyaku lagi
“Aduh kamu ini
gimana sih. Pergi dong kenalan sana,” jawab bu Husna tak menghiraukan
pertanyaanku. Beliau terlihat mencatat sesuatu di buku besar, kelihataannya
sibuk dan tak ingin diganggu lebih lama dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Memang dasarnya
aku pemalu jadi aku tidak berani menegur gadis itu duluan. Setelah mengambil
buku yang ingin kubaca, aku segera duduk di lantai, lesehan seperti biasanya. Tak kusangka
ternyata anak perempuan itu menghampiriku.
“Namaku Dina,
kamu siapa?” tanyanya ramah sambil mengulurkan tangannya. Aku terperangah
kaget, tak menyangka akan ditegur lebih dulu olehnya.
“Eh..aku..aku..namaku
Wirda,” sahutku tergagap sambil tersipu malu.
“Kamu kelas
berapa,” tanyanya lagi.
“Aku kelas 8
satu,” jawabku. “Kamu kelas berapa,”
tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Aku kelas 8 dua.
Berarti kelas kita bersebelahan dong. Ntar waktu pulang sekolah kita bareng
ya,” jawab Dina antusias. Aku mengangguk perlahan. Meskipun aku tidak tahu
rumahnya dimana dan arah kemana, aku tetap mengiyakan ajakannya. Setelah
selesai menghabiskan bacaan kamipun kembali ke kelas masing-masing.
Setelah lonceng pulang
sekolah berbunyi, aku buru-buru keluar kelas. Aku menunggu Dina di depan pintu
kelasnya. Tak lama terlihat Dina keluar dari kelas sambil tersenyum. Kami
berjalan beriringan menuju pintu gerbang sekolah.
“Rumah kamu
dimana,” tanyaku pada Dina.
“Di ujung jalan
ini kan ada belokan ke kiri. Setelah melewati mesjid ada persimpangan, belok
kekiri lagi. Nah rumah aku gak jauh dari persimpangan itu, sekitar lima rumah
deh dari ujung. Aku tidak tau nama kampungnya apa karena kan aku baru di sini.”
Jelasnya panjang lebar. Aku tersenyum mendengar jawabannya.
“Oh iya, rumah
kamu dimana?” Tanya Dina.
“Rumahku di
sebelah kampung kamu Din. Nama kampungku Beringin, sedangkan nama kampungmu
Seroja menurut denah rumah yang kamu jelaskan padaku tadi,” jawabku.
“Oh,…begitu ya,”
sahut Dina mengangguk-angguk. “Bearti kita tidak searah ya?” tanyanya lagi.
“Iya Din, kita berpisah du ujung jalan ini. Kamu belok ke kiri sedangkan aku ke
kanan. Sampai ketemu besok ya,” jawabku. Dina melambaikan tangannya dan kamipun
berpisah. Baru tiga langkah aku mendengar Dina berteriak.
“Wirda,…ntar sore
main ke rumahku ya? Kamu kan sudah tahu rumahku. Oke?” pintanya. Aku berpikir
sejenak. “Baiklah, nanti sore aku kerumahmu,” jawabku tidak ingin
mengecewakannya. Dina tersenyum senang lalu berbalik dan berjalan menuju kearah
rumahnya.
Sorenya setelah
menyelesaikan semua tugas-tugas rumah aku bergegas menuju ke rumah Dina. Tidak
sulit menemukan rumahnya, karena beberapa temanku juga tinggal di daerah itu.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan mengucap salam, seraut wajah muncul di
balik pintu. Seorang perempuan sebaya ibuku melihatku dengan tatapan tajam.
“Mencari siapa?”
tanyanya kurang bersahabat.
Aku terkejut
mendapat pertanyaan ketus seperti itu.
“Mmmm, saya temannya Dina, bu. Saya ingin
bertemu Dina,” jawabku.
“Masuklah, Dina
ada di belakang,” katanya sambil membukakan pintu. Aku berjalan di belakangnya.
Di bagian belakang rumah terlihat Dina sedang menyapu halaman. Melihat aku
datang dia langsung menghampiriku.
“Wirda,” serunya
girang. “Aku tidak menyangka kamu mau datang ke rumahku. Tunggu sebentar ya,
aku selesaikan pekerjaanku sedikit lagi, terus kita ngbrol-ngobrol deh,”
lanjutnya lagi.
Aku mengangguk mengiyakan. Aku lantas duduk di
bangku panjang di bawah pohon nangka menunggu Dina menyelesaikan pekerjannya.
Selesai menyapu Dina memberi makan ayam dan bebek lantas dilanjutkan dengan
mencuci piring.
“Kamu gak capek
mengerjakan pekerjaan itu semua?” tanyaku ketika kami sudah berada di dalam
kamarnya.
Dina tersenyum lantas menjawab,” Capek sih
capek, Wir. Tapi mau bagaimana lagi. Masih untung aku diperbolehkan tinggal di
sini,” lanjut Dina. Aku terperangah mendengar jawaban Dina.
“Memangnya ini
rumah siapa, Din?” tanyaku lagi.
“Ini rumah
pamanku, adik ibuku yang paling kecil. Aku menumpang tinggal di sini,” jelas Dina perlahan. Wajahnya terlihat sedih.
“Memangnya orang tuamu di mana Din. Mengapa kamu tidak tinggal bersama mereka,”
tanyaku tanpa berusaha menutupi rasa keingintahuanku.
“Ayah dan ibuku
berpisah setahun yang lalu. Awalnya aku ikut ibu dan tinggal bersamanya. Namun
setelah dua bulan ibu memutuskan untuk pergi ke Malaysia mencari pekerjaan. Aku
lantas tinggal bersama ayah, tapi pada saat itu ayah sudah menikah dengan
perempuan lain yang sudah memiliki dua orang anak. Aku tidak tahan tinggal
dengan mereka, Wir. Setiap hari selalu saja ada yang salah denganku, padahal
semua pekerjaan rumah tangga sudah aku lakukan dengan baik. Ayah sering
bertengkar dengan ibu tiriku karena membelaku. Aku jadi merasa tidak enak. Lantas
aku mengalah dan memutuskan untuk tinggal bersama paman atas saran dan nasehat
dari ibu,” lanjut Dina sambil mengusap airmatanya.
Aku terharu mendengar kisahnya. Kusentuh
tangan Dina sambil berucap,” Jangan sedih ya Din. Banyak kok teman-teman kita yang
bernasib sama seperti kamu. Yang penting kamu harus tetap semangat menjalani
hidup kamu,” kataku sok menasihati.
Dina tersenyum
menatapku. “Terimaksih ya Wir, kamu sudah mau jadi temanku. Terimakasih juga kamu sudah menasihatiku. Aku akan berusaha tetap
ceria menjalani hari-hariku. Aku bertekad akan belajar sebaik mungkin. Aku
ingin menjadi orang sukses. Aku ingin menggapai cita-citaku. Ibu sudah berjanji
akan terus mendukungku untuk meraih cita-citaku. Ibu berjanji akan terus
membiayaiku sampai ke perguruan tinggi asalkan aku rajin belajar,” sahut Dina
mantap sambil menatap ke luar jendela kamar.
“Nah, gitu dong.
Jangan sedih lagi ya, suatu saat kamu pasti akan berkumpul lagi dengan ibumu,”
kataku memberinya semangat. Dina mengangguk mengiyakan.
“Aku pamit dulu
ya Din, sudah hampir magrib. Besok-besok aku main ke rumahmu lagi,” pamitku
pada Dina.
“Terimakasih ya
Wir sudah mau main ke rumahku dan sudah bersedia jadi temanku,” sahut Dina
senang.
Aku mengangguk
sambil tersenyum. Setelah berpamitan dengan bibinya aku lantas pulang dengan
perasaan senang karena sudah mempunyai teman baru.
Ketika baru saja
melangkahkan kaki masuk ke rumah tiba-tiba terdengar suara
dengan intonasi yang cukup tinggi.
” Wirda! Darimana
saja kamu hah!” teriak ibu tiriku berdiri
sambil berkacak pinggang.
Aku menghela
nafas sambil bergumam dalam hati. “ Ah Dina, ternyata nasib kita sama.
Sama-sama tidak memiliki keluarga yang utuh. Bedanya kamu masih memiliki ibu
kandung meskipun hidup berjauhan, sedangkan aku sudah tidak memiliki ibu lagi
karena beliau sudah berpulang ke pangkuanNya sekitar empat tahun yang lalu.”
“ Eh bukannya
langsung masuk malahan bengong disitu”, teriak ibu tiriku lagi.
Perlahan aku
masuk dan menutup pintu di belakangku. Bergegas aku ke belakang menyiapkan
makan malam untuk kami sekeluarga. Biarlah Dina tidak tahu tentang kehidupan
keluargaku. Suatu saat aku juga akan menceritakannya, tapi tidak sekarang
karena Dina terlihat masih sangat sedih berpisah dengan ibunya. Yang penting
kini aku sudah memiliki sahabat baru yang bisa kuajak untuk bertukar pikiran
dan berbagi cerita.
Aku tersenyum
senang membayangkan hari esok yang lebih menyenangkan yang akan kulewati.
SELESAI
photo jadul
ReplyDeleteHahaha...yg jadul lebih mantap
DeleteNice pic and good story🥰🥰🥰
ReplyDeleteThank you at all...
DeleteTest
ReplyDelete